Jakarta – Di tengah geliat pembangunan strategis nasional seperti Pelabuhan Internasional Patimban dan kawasan industri Cipali Barat 1 dan 2, suara kritis datang dari tokoh masyarakat Subang, Kaka Suminta.
Ia menyoroti bahwa pembangunan berskala besar yang berlangsung di Kabupaten Subang belum melibatkan masyarakat secara utuh, dan justru berpotensi meninggalkan mereka yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Menurut Kaka, pembangunan besar yang sedang berjalan tidak disertai dengan pembangunan support system yang memadai bagi masyarakat lokal. Ia menggarisbawahi bahwa pembangunan fisik seperti pelabuhan dan kawasan industri seharusnya dibarengi dengan pembangunan infrastruktur pendukung dan pelibatan masyarakat secara menyeluruh, agar dapat memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat Subang.

“Yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Lihat saja kondisi akses jalan menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di kawasan sekitar Patimban. Jalannya rusak berat. Akibatnya, aktivitas TPI merosot. Saya melihat TPI mengalami kemunduran. Ini sangat disayangkan karena masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup di sektor perikanan, justru terdampak,” kata Kaka kepada media ini.
Ia menilai, pembangunan Patimban dan kawasan industri lainnya cenderung elitis dan tertutup. Informasi tentang rencana pembangunan, dampaknya, serta potensi manfaatnya, tidak pernah disampaikan secara utuh kepada masyarakat. Bahkan, hingga saat ini, warga Subang masih banyak yang tidak tahu secara pasti apa itu Cipali Barat 1 dan 2, dan bagaimana relasinya dengan Patimban maupun pembangunan kawasan ekonomi lainnya.
“Pemerintah sangat pelit informasi. Warga tidak tahu arah pembangunan ini ke mana, dan mereka harus bersiap seperti apa. Tanpa informasi yang memadai, masyarakat tidak bisa menempatkan diri, apakah mereka bisa ikut ambil bagian atau justru harus bersiap digusur,” tegas Kaka.
Pelibatan masyarakat dalam proyek-proyek tersebut, menurutnya, sangat lemah. Kaka menyebut hanya segelintir kepala desa yang dilibatkan dalam perencanaan atau pembahasan proyek pembangunan. Padahal, yang terdampak secara langsung adalah masyarakat akar rumput, bukan hanya aparat pemerintahan desa.
“Kepala desa itu bagian dari sistem pemerintah. Kalau hanya mereka yang dilibatkan, maka suara masyarakat tidak akan benar-benar tersampaikan. Seharusnya yang dilibatkan adalah warganya langsung, misalnya melalui forum warga, pelatihan, pemberdayaan UMKM, dan lainnya,” jelasnya.
Kaka juga mengungkapkan keprihatinan terhadap warga sekitar Patimban yang mulai tergusur akibat pembangunan. Banyak lahan yang dulunya milik warga kini telah beralih fungsi menjadi kawasan pelabuhan atau pendukungnya. Ironisnya, para pemilik lahan ini tidak mendapat ruang dalam pengembangan ekonomi pelabuhan.
“Mereka kehilangan tanah, tapi tidak mendapat peluang usaha atau pelatihan keterampilan agar bisa terlibat dalam bisnis pelabuhan. Ini jelas membuat masyarakat lokal menjadi penonton di tanah sendiri. Ini bukan pembangunan yang adil,” ujarnya.
Kaka memperkirakan, dalam 3–5 tahun ke depan, Pelabuhan Patimban akan mengalami lonjakan aktivitas secara signifikan. Oleh karena itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus bersinergi untuk mempersiapkan masyarakat agar bisa ikut tumbuh bersama kawasan tersebut.
“Saya belum melihat adanya campur tangan pemerintah provinsi yang cukup berarti. Padahal ini bukan hanya tanggung jawab kabupaten. Pemerintah provinsi juga punya kewenangan untuk mengarahkan agar pembangunan tidak hanya mementingkan investasi, tetapi juga keadilan sosial,” tambahnya.
Sebagai penutup, Kaka menyerukan agar pemerintah membuka ruang komunikasi yang jujur, transparan, dan partisipatif dengan masyarakat. “Kalau tidak ada perubahan pendekatan, saya khawatir akan muncul ketimpangan baru: daerahnya maju, tapi masyarakatnya tertinggal,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan