Jakarta – Pandemi Covid-19 ternyata berdampak global dan panjang. Selain masalah kesehatan, pandemi Covid 19 ternyata juga mempengaruhi sektor lain yaitu ekonomi dan bisnis.
Dampak di bidang ekonomi adalah menurunnya aktivitas bisnis akibat protokol kesehatan yang diterapkan dibeberapa negara. Ada yang menyebutkan sebagai lockdown, atau Karantina wilayah. Di Indonesia kita lebih mengenal sebagai Pembatasan sosial baik yang berskala besar, maupun yang berskala lokal.
Begitu disampaikan Pakar Ekonomi Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Oskar Vitriano dalam keterangannya kepada media, Minggu (5/7/20).
Oskar menilai, penetapan kebijakan pembatasan sosial di beberapa kota dan provinsi sangat memukul aktivitas ekonomi pada daerah yang menjalankan kewajiban tersebut. Bukan hanya perusahaan perusahaan besar dan bisnis besar yang terdampak, akan tetapi juga kepada Usaha rumah tangga, usaha kecil dan menengah.
“Secara makroekonomi Menteri Keuangan memprediksi pertumbuhan ekonomi sepanjang Q2 2020 menjadi -3,1 persen sepanjang kebijakan pembatasan sosial berjalan di beberapa daerah di Indonesia,” kata Oskar.
Pada akhir Juni 2020 pengenduran pembatasan sosial dengan nama “new normal”, membuat pemerintah mengijinkan kembali beberapa aktivitas ekonomi kembali buka dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Dimulai dengan pembukaan pasar-pasar, kantor dan pusat permbelanjaan.
“Akan tetapi sejatinya pelaku ekonomi sudah habis-habisan bertahan beberapa bulan belakangan untuk mempertahankan bisnisnya. Beberapa bulan belakangan di era pembatasan sosial, pelaku bisnis tetap membayar biaya operasional dan biaya karyawan meski tanpa pemasukan atau pemasukan yang kecil sekali,” terang Oskar.
Oskar menerangkan, dalam teori John Maynard Keynes, ekonom sekaligus perdana menteri Inggris saat itu, ketika mesin perekonomian sedikit mogok dan berkarat, maka pemerintah melalui segala macam kebijakan-kebijakannya harus bisa menjadi pelumas agar perekonomian kembali berjalan dan kembali menggeliat.
Dikatakannya, komitmen pemerintah untuk kembali menggerakkan roda perekonomian ditandai dengan meningkatkan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp695,20 triliun sesuai Perpres No. 72 tanggal 24 Juni 2020.
“Dari sini saja sudah timbul optimisme dunia usaha bahwa pemerintah serius dalam mengembalikan roda perekonomian ke posisi sebelum pandemi Covid 19 bahkan lebih tinggi lagi,” jelas Oskar.
Dia mengingatkan, Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional yang diinisiasi Menko Perekonomiaan Airlangga Hartarto ini juga perlu tepat sasaran, agar dampaknya mengena langsung pada masyarakat.
Sejatinya, kata dia, aktivitas ekonomi merupakan sebuah siklus penawaran dan permintaan yang berlangsung secara terus menerus, paling tidak inilah yang dikatakan bapak ekonomi pasar Adam Smith di tahun 1776. Pada saat pandemi covid 19 di Indonesia dengan kebijakan pembatasan sosialnya, baik penawaran dan permintaan di Indonesia mengalami penurunan yang sangat mendalam.
Dijelaskannya, penurunan sisi permintaan ekonomi ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat karena banyak pekerja yang biasa mendapatkan gaji normal, di era pandemi ini ada yang dikurangi jam kerjanya, dirumahkan sementara tanpa gaji, ataupun diberhentikan dari pekerjaannya.
“Pada kondisi ini maka sudah tepat pemerintah menganggarkan Rp 203,90 Triliyun Rupiah. Jumlah anggaran sebesar ini merupakan komitmen pemerintah untuk perlindungan sosial secara langsung,baik itu bantuan langsung tunai, bantuan langsung sembako, maupun bantuan secara tidak langsung melalui program pra kerja. Diharapkan dengan adanya bantuan sosial ini meningkatkan daya beli masyarakat di era ‘new normal’,” paparnya.
Setelah sisi permintaan, lanjutnya, maka tidak akan ada pertumbuhan produksi barang yang akan dibeli apabila tidak diimbangi pada sisi penawaran. Dalam hal ini adalah bantuan ke produsen barang, baik itu perusahaan besar maupun usaha mikro kecil dan menegah yang selama era pandemi dan pembatasan sosial ditutup ataupun berkurang aktivitasnya.
Pemerintah melalui Kemenko Perekonomian menyiapkan program-program pemulihan ekonomi. Mulai dari insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, dukungan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun dan sektoral kementerian/Lembaga dan Pemda sebesar Rp106,11 triliun.
“Sehingga setiap produsen baik korporasi sampai ke UMKM mendapatkan stimulus pemerintah secara proporsional ditambah dengan usaha yang berhubungan dengan sektoral Kementerian Lembaga dan pemerintah derah,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, fokus pemerintah pada pemulihan UMKM difokuskan untuk dukungan tersebut diberikan dalam bentuk subsidi bunga, insentif pajak dan penjaminan untuk kredit modal kerja baru UMKM. Total subsidi bunga yang dianggarkan mencapai Rp35,28 triliun dengan target penerima sebanyak 60,66 juta rekening. Jumlah ini tentu merupakan insentif terbesar dan merata diberikan kepada pelaku UMKM yang terdata di pemerintahan.
“Oleh karena itu, maka pendataan UMKM di Indonesia perlu lebih dimasifkan sehingga lebih banyak UMKM di daerah yang bisa diberikan stimulus subsidi bunga ke rekening UMKM secara langsung,” tuturnya.
Kemudian, tambah dia, untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) pemerintah telah memberikan insentif bunga yang juga termasuk dalam paket pemulihan ekonomi nasional. Belum lagi kemudahan pemberian fasilitas KUR kepada UMKM terlihat dari Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2020 tentang Ketentuan Khusus bagi Penerima KUR terdampak Pandemi Covid-19.
“Diharapkan setelah keluar regulasi ini, UMKM penerima KUR menjadi lebih banyak dan lebih merata di seluruh Indonesia,” tuturnya.
Paling tidak, terang dia, data bulan Mei 2020 yang disampaikan 14 penyalur KUR menunjukkan signifikansi penyaluran KUR yaitu tambahan subsidi bungan KUR kepada 1.449.570 debitur dengan baki debet Rp46.1 triliun. Kemudian penundaan angsuran pokok paling lama 6 bulan diberikan kepada 1.395.009 debitur dengan baki debet Rp40.7 triliun. Relaksasi KUR, berupa perpanjangan jangka waktu diberikan kepada 1.393.024 debitur dengan baki debet Rp39.9 triliun. Dengan tetap menjaga NPL KUR di angka 1,8 persen.
Penggunaan penyaluran KUR pada bulan April 2020 dan Mei 2020 memang lebih difokuskan pada restrukturisasi Hutang sebesar April (79,4%) dan Mei 2020 (82,7%), namun sejak minggu ketiga ekspansi kredit mikro porsinya telah mencapai 78,2% dan restrukturisasi tinggal hanya 21,8%. Bahkan pada akhir minggu ketiga Juni 2020, ekspansi total kredit kecil di BRI telah mencapai lebih dari Rp1 triliun per hari atau dengan kata lain sudah mendekati penyaluran kredit kecil pada masa normal. Artinya penyaluran KUR di bulan Juni ini sudah merupakan KUR untuk modal usaha baru UMKM.
“Hal ini berarti mulai ada geliat aktivitas ekonomi sektor UMKM yang merupakan indikasi bahwa program KUR pemerintah membawa dampak bagi pemulihan ekonomi nasional,” sebut dia.
“Tim ekonomi Jokowi terbilang sukses melakukan recover ekonomi di saat Covid-19 .Hal ini nyata dari data-data yang tersaji. Dan jika terus kondisinya seperti yang dilakukan saat ini, maka sangat memungkinkan ancaman krisis ekonomi akan bisa terhindar, dan malah ekonomi nasional akan tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lainnya yang masih bergelut dengan dampak perekonomian yang diakibatkan Covid-19,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan