Oleh : Ade Mulya*
(Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kepolisian (S3) STIK-PTIK)
Pada masa pandemi ini, Juli sampai dengan Oktober 2020, tercatat penangkapan kelompok teroris Jaringan Ansharut Daulah terjadi di Bekasi Jawa Barat, Sleman Yogyakarta, Jepara Jawa Tengah, Jawa Barat dan tempat lainnya. Langkah yang tepat dilakukan Densus 88 sebagai upaya penindakan dalam rangka pencegahan dan tindakan mendahului untuk meredam serangan teroris.
Terorisme secara garis besar dibagi dalam 2 kategori, yaitu teroris domestik dan teroris jaringan internasional. Isu perubahan ideologi teroris diawali dengan serangan terhadap 9/11 dengan ideologi radikal yang berbasis agama. Selanjutnya berubah menjadi ideologi transnational yang berusaha menduduki wilayah dan mencoba mendirikan sebuah negara.
Perkembangan situasi internasional, tercatat pada bulan Oktober 2020 ini, telah ditangkap seorang wanita yang diakui sebagai warga Indonesia berjenis kelamin wanita yang bernama Nana Isirani (NI) atau Rezky Fantasy Rullie alias Cici yang diduga menikah dengan salah satu anggota kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Langkah Pemerintah Filipina dengan menangkap dan menemukan barang bukti pada rumah pelaku akan lebih tepat untuk meredam serangan.
Pelaku teror yang pada umumnya pria, mengalami pergeseran ke pelaku wanita yang cenderung akan lebih sulit dideteksi karena akan terlihat sekilas bukan sebagai ancaman. Bahkan pada peristiwa pelaku teroris di Surabaya Jawa Timur pada Mei 2018, merupakan satu keluarga, termasuk anak-anak. Pada konteks tersebut, anak-anak itu tidak tahu persis keadaan yang sebenarnya dan dalam penguasaan orang tua. Mereka menjadi radikal kekerasan karena pengaruh dari orang tuanya secara langsung.
Ciri yang penting dalam rangka mendeteksi kelompok teror di Indonesia, yang berada di tengah masyarakat, yaitu cara mereka untuk tinggal secara sementara dalam suatu wilayah. Artinya kelompok teror biasanya mengontrak rumah dan “menyamar” sebagai orang biasa. Tidak semua demikian, namun secara umum ada perilaku untuk menjauh dari lokasi mereka berasal dengan cara berpindah-pindah untuk menghindari deteksi. Perilaku untuk bersembunyi itu, untuk mempersiapkan diri dan konsolidasi persiapan untuk melakukan tindakan atau serangan.
Ronczkowski menyebut (2006 : 53) bahwa penggunaan sistem sel pada jaringan teroris membatasi penegak hukum atau penyelidik lapangan mendapatkan akses ke suatu organisasi. Sel umumnya terdiri dari empat hingga enam anggota, semuanya dengan ketrampilan spesialisasi tertentu yang berfokus pada kesiapan misi, dan setiap anggota memiliki pengetahuan terbatas tentang keseluruhan misi. Jumlah sel bisa 2 sampai 3 orang. Bahkan ada sel yang hanya satu orang saja.
Melihat situasi jaringan terorisme di atas, perlu pencegahan terhadap paparan ideologi terorisme dan radikal kekerasan dimulai dari hulu sampai dengan hilir. Pada negara demokrasi, pikiran atau ide tentu tidak dapat dihukum, namun akibat dari pemikiran yang dituangkan dalam sebuah perbuatan kejahatan, termasuk terorisme secara tegas dilakukan penindakan hukum.
Pola gerakan teroris berkembang dan berubah. Teroris yang berlatar belakang separatis, bertujuan perlawanan terhadap sebuah rezim. Selanjutnya, ada kelompok teroris yang disponsori oleh negara untuk menyerang negara lainnya.
Perkembangan selanjutnya menjadi teroris yang berbasis pada agama (Jihadis). Pada akhirnya, muncul model teroris transnasional yang mengklaim sebuah wilayah dan mengajak bergabungnya orang-orang dari luar negeri menjadi warga mereka.
Bagaimana situasi pada masa pendemi ini? Penggunaan internet yang meningkat pada saat pandemi covid19 berpengaruh terhadap penyebaran paham radikal kekerasan. Fakta lapangan bahwa radikal kekerasan, dapat terjadi hanya karena narasi dan video kekerasan yang berisi doktrin perjuangan kelompok teroris tersebut. Rekrutmen secara tatap muka menjadi berkurang dan penggunaan sarana media internet meningkat. Inilah yang sering disebut sebagai teradikalisasi kekerasan secara mandiri (self radicalization).
Sebagaimana ditulis oleh Hoffman (2017:399) bahwa komunikasi para jihadis menggunakan aplikasi chat pada sosial media, seperti :FB, Twitter, Instagram, Telegram, Whatapps, dan lainnya. Bahkan dalam perkembangannya menggunakan aplikasi chat pada portal toko online yang memiliki fitur chat. Tujuannya agar tidak terdeteksi dalam berkomunikasi, sekaligus sebagai sarana memupuk ikatan antara kelompok dan penyaluran logistik.
Secara garis besar bahwa pola radikal kekerasan berbasis pada agama dan pada non-agama (sekularisme). Dengan perkataan lain, bahwa tidak semua aksi teror selalu dikaitkan dengan latar belakang agama pelaku. Pada posisi ini, bagaimana cara kita mendeteksi secara cepat ideologi calon pelaku dan mengubahnya menjadi ideologi yang damai dan toleran. Jawaban sederhana adalah ideologi pancasila. Ideologi pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, antara lain mengajarkan toleransi dan gotong royong. Dialog dengan wacana ideologi pancasila akan mudah masuk ke kelompok terorisme apabila yang melakukan pendekatan juga dari mantan teroris, dengan tujuan dapat diterima untuk dilakukan dialog.
Ideologi yang dimiliki oleh kelompok teroris tidak datang dengan tiba-tiba tetapi melalui proses. Interaksi antara orang biasa yang terpapar dengan ideologi kekerasan dan terorisme akan mengubah seseorang dari pribadi yang baik, menjadi pribadi yang mempercayai bahwa melawan thohgut yang disimbolkan kepada pihak manapun yang memusuhi mereka. Selain itu, ditujukan kepada pihak yang tidak memiliki kesamaan tujuan dengan mereka.
Kontra Radikalisasi merupakan tindakan pencegahan dengan tujuan untuk mencegah penyebaran paham radikal terorisme. Menurut UU Nomor 5 tahun 2018, bahwa kegiatan kontra radikalisasi terorisme ada 3: (1) kontra narasi, (2) kontra propaganda, dan atau (3) kontra ideologi. Setidaknya ada tiga hal penting.
Pertama, kontra Radikalisasi dapat dilakukan oleh warga masyarakat melalui media sosial dalam group lingkungan mereka. Kedua, dengan mengedepankan fungsi preventif organ pemerintah, untuk menjadi narasumber kegiatan kelompok yang terpapar ideologi terorisme. Ketiga, mengajak mantan napi teror yang sudah terlatih untuk menjadi fasilitator dialogis baik kepada mantan napi, termasuk keluarganya dan kelompok masyarakat rentan terpapar. Kegiatan dari kontra radikalisasi, bisa dengan lisan, tulisan dan peningkatan literasi masyarakat.
Model pendekatan dengan Kontra radikalisasi narasi, masuk dalam kategori soft approach. Melalu pendekatan humanis ini, dapat dilanjutkan dalam program deradikalisasi dengan melaksanakan rehabilitasi, reintegrasi, dan reedukasi. Pendekatan secara halus akan lebih mudah diterima dengan alasan bahwa sebagian besar teroris, selalu cenderung percaya ada balasan surga atas aksi teror mereka. Kenyakinan itu begitu kuat, sehingga pendekatan dialog akan lebih mudah diterima.
Apabila masing-masing peran dengan berkontribusi, maka sinergi akan terjadi dan kemudahan untuk mengatasi persoalan terorisme ini makin menguat. Pada UU Nomor 5 Tahun 20I8 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme, terutama pada pasal 31A menyebut adanya kewenangan penyadapan oleh penyidik terhadap setiap upaya deteksi yang dilakukan. Penyadapan sesuai hukum ini, akan memberikan peluang lebih besar kepada penyidik untuk melaksanakan upaya penindakan secara lebih luas dan mendalam. Penyadapan ini juga dikontrol dengan ketentuan bahwa dalam waktu paling lama 3 hari, penyidik harus memintakan penetapan ke pengadilan negeri pada wilayah hukum kedudukan penyidik. Regulasi penyadapan yang diatur dalam tingkat undang-undang ini tepat, sehingga pelaksanaan penyadapan yang dilakukan penyidik memiliki dasar hukum yang kuat.
Kegiatan kontra radikalisasi sebagai bentuk pencegahan yang mirip dengan upaya untuk memberikan vaksin yang dimasukan ke dalam ke tubuh, dan beraksi menciptakan daya tahan dan kekebalan dari pengaruh dari paparan ideologi terorisme. Hal yang menonjol, bahwa kontra radikalisasi ini, perlu dukungan setiap warga negara, karena jiwa patriotisme dan cinta kepada tanah air di samping aktor utamanya yaitu : BNPT, badan lainnya, dan kementerian terkait.
Tinggalkan Balasan