Konsep keterlibatan masyarakat secara partisipatoris telah dituangkan dalam Pancasila sebagai norma dasar Indonesia. Hal tersebut dimuat pada sila keempat Pancasila yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan menurut filsafat politik kontemporer tidak diartikan secara terbatas sebagai hak masyarakat dalam mengikuti pemilihan umum, tetapi juga dalam rangka mengasah penalaran publik yang diartikan sebagai model relasi politik antarwarga, dan relasi antara warga dan negara, di mana di dalamnya semua pihak mengakui prinsip kebebasan yang setara (equal liberty) bagi semua.
Rawls menguraikan lebih lanjut bahwa ide nalar publik merincikan nilai-nilai moral dan politik dengan tujuan menata hubungan antara pemerintahan demokratis konstitusional dan warganya. Dengan demikian, partisipasi rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dalam kandungan sila keempat Pancasila karena didalamnya menggambarkan relasi yang setara dan kebaikan publik yang memberikan perhatian pada soal keadilan politik yang mendasar.
Paradigma partisipasi rakyat dalam Pancasila ditegaskan lebih lanjut dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 melalui Pasal 1 ayat (2) jo. Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar serta penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Sebagaimana prinsip-prinsip dalam negara hukum, perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi adalah dua prinsip yang saling bertautan dan perlu dijamin pelaksanaannya. Prinsip tersebut ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (5) UUD NRI 1945 yang juga dapat dipahami bahwa prinsip negara hukum tidak hanya menjadi legitimasi pemerintah tetapi juga difungsikan untuk melindungi hak asasi manusia.
Dalam konteks partisipasi rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini diuraikan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019. Dalam BAB XI Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dijelaskan bahwa masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukannya dan oleh karenanya setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Namun, hak masyarakat dalam ikut serta memberikan masukan terhadap peraturan perundang-undangan kian kali dicederai sebagaimana hal ini terjadi dalam Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Ketiga proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dinilai tidak partisipatif karena tidak melibatkan pihak yang terdampak dalam proses pembentukannya, baik dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangannya.
Dalam revisi UU KPK, Bagir Banan secara terang menjelaskan bahwa pembentukan UU KPK telah mengabaikan pendapat dari masyarakat dan publik sebagai perwujudan kehendak rakyat. Sedangkan dalam konteks RUU Cipta Kerja, Ombudsman Republik Indonesia juga telah mengkonfirmasi bahwa adanya cacat formil dalam prosesnya.
Ketiga proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut telah menjustifikasi bahwa perlu adanya evaluasi dalam penerapan partisipasi masyarakat yang telah dikonseptualisasikan dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Ide tersebut seyogyanya perlu dijamin kepada rakyat untuk dapat turut serta dalam proses penyelenggaraan negara dan mengakses kebijakan publik sebagai manifestasi sistem kedaulatan di tangan rakyat yang ideal.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya perlu dipastikan asas keterbukaan sebagaimana dimuat dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak menjadi jargon semata dan masyarakat terdampak dapat memberikan masukan serta produk peraturan perundangundangan menjadi refleksi dari solusi yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, prinsip-prinsip dasar dalam terwujudnya partisipasi publik juga perlu diperhatikan yang mana terdiri dari guaranteed access, equality, freedom to express opinions, the notion of public good, dan the democratic ideal. Dengan demikian, partisipasi dapat diterjemahkan secara rasional sebagai pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat dan kapasitas nalar publik dapat meningkat secara optimal—mengingat bahwa ide nalar publik menjadi standar komunikasi di antara masyarakat majemuk dalam kehidupan publik.
Dengan kapasitas nalar publik yang mapan beriringan dengan implementasi pembentukan peraturan perundangundangan yang berlandaskan asas pembentukan perundang-undangan yang baik, maka prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks negara hukum akan menyokong implementasi Pancasila secara holistik sebagai norma dasar Indonesia yang sudah final.
Penulis :
Fajar Adi Nugroho, Ketua BEM UI 2020
Tinggalkan Balasan