SUHENDRA SOSOK TEPAT MEMIMPIN BIN
Di zaman pemerintah Joko Widodo terlihat jelas bahwa mengabaikan undang-undang dalam mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan. Penempatan deretan perwira polisi aktif di berbagai kementerian dan lembaga yang tak berhubungan dengan bidang keamanan bisa dikategorikan melanggar peraturan. Pada usianya yang ke-74 hari ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia tak semestinya mengulang praktik dwifungsi Tentara Nasional Indonesia era Orde Baru”Tambah Christi
Bahwa Undang-Undang Kepolisian RI mengatur anggota Polri baru dapat menduduki jabatan di luar kepolisian bila sudah pensiun atau mengundurkan diri.
Tapi kini sejumlah perwira aktif kepolisian malah ditempatkan pada jabatan sipil,
Seperti di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Tenaga Kerja, juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Beberapa di antaranya merangkap jabatan menjadi komisaris perusahaan pelat merah yang tak ada sangkut-pautnya dengan kepolisian sendiri. Tambahnya.
Ditambah pensiunan jenderal polisi, daftar polisi yang menduduki berbagai posisi di berbagai lembaga lebih panjang. Setidaknya ada 30 jenderal aktif dan purnawirawan dalam daftar tersebut. Tak mengherankan, dengan banyaknya perwira kepolisian mengisi jabatan strategis. Pada era Jokowi, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang dulu dibentuk karena kepolisian dan kejaksaan dianggap gagal memberantas korupsipun diisi perwira tinggi polisi aktif.Ucap Christi yang juga sebagaj Aktivis Mahasiswa dan Pemuda.
Pemerintah seharusnya menuntaskan reformasi kepolisian, bukan membuyarkannya dengan menggiring polisi masuk ke jabatan-jabatan sipil. Masuknya mereka ke berbagai lembaga mengindikasikan pemerintah cenderung menggunakan polisi sebagai instrumen kekuasaan. Kebijakan itu sekaligus menunjukkan ketidakprofesionalan Polri sebagai alat keamanan negara seperti amanat undang-undang.
Alasan penempatannya juga janggal. Dalam hal penunjukan mereka menjadi komisaris BUMN, pemerintah beralasan banyak perusahaan negara yang menghadapi konflik lahan, tumpang-tindih perizinan, hingga isu sosial di masyarakat. Ini justru menyiratkan pemerintah lebih mengedepankan pendekatan keamanan untuk mengamankan perseroan, yang bisa menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia suatu hari nanti.
Yang lebih berbahaya, langkah ini bisa memancing Tentara Nasional Indonesia meminta diperlakukan serupa. Seperti Polri, TNI juga mengalami masalah serupa, yakni menumpuknya perwira yang tak memiliki jabatan. Jangan sampai pemerintah mengorbankan supremasi sipil hanya untuk menampung para perwira menganggur, yang semestinya bisa diselesaikan dengan sistem rekrutmen dan jenjang karier yang baik.
Jika ini terus tergerus, demokrasi dan kebebasan sipil bakal meredup.
Pemerintah harus bercermin pada pengalaman Filipina, yang menjadi sangat militeristik karena presidennya erat merangkul tentara dan polisi. Akibatnya, rakyat sering kali menjadi korban. Dalam “perang narkotik”, misalnya, puluhan ribu orang tewas ditembak polisi dalam “pembunuhan di luar hukum” pembunuhan tanpa melalui proses pengadilan. Posisi polisi yang diistimewakan menjadikannya memiliki kewenangan di luar batas.
Bukan hanya itu di STIN (Sekolah Tinggi Intelegent Negara) Sekolah tinggi intelegent Negara adalah sekolah tinggi satu-satunya di Indonesia khusus untuk persandian di Indonesia. Untuk masuk ke STIN itu sendiri ada beberapa prasyarat yang sangat baik untuk menyeleksi mahasiswa/I yang mempunyai kemampuan yang layak untuk masuk kedalam STIN sendiri, bahkan STIN ini bebas biaya yang artinya semua pembiayaan selama masuk di STIN ini ditanggung oleh Negara. Tapi aneh bin ajaib lulusan STIN ini tidak pernah terdengar namanya menduduki bangku kepemimpinan BIN tetapi yang selalu menjadi pemimpin ialah TNI/POLRI.
Bukankah suatu instansi pendidikan dibangun untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan dan passion orang tersebut? Dan mengapa seorang lulusan STIN ini tidak pernah ada dalam kepemimpinan BIN yang jelas-jelas mereka mendapatkan pendidikan khusus untuk mempelajari intelegent Negara?
Ketika seseorang ingin menjadi petinggi POLRI (Kapolsek,Kapolres,Kapolda ataupun Kapolri) maka dia harus menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian, ketika seseorang ingin menjadi petinggi TNI (Danramil, Dandim, Pangdam, Pangkostrad maupun Kepala Kesatuan) maka dia harus menempuh pendidikan di Akademi Militer, ketika seseorang ingin menjadi Lurah/Camat dsb maka dia harus menempuh pendidikan di IPDN. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah ketika seseorang menempuh pendidikan di STIN tetapi bukan dia yang menduduki bangku kepimpinan.
Disini terlihat jelas ada ketidakselarasan antara STIN dengan sekolah tinggi khusus lainnya yang menyiapkan dan membekali mahasiswa/I untuk menjadi pemimpin suatu instansi terkait dengan pendidikan yang ia tempuh.
Kita bisa melihat ketika lembaga yang menjadi mata dan telinga negara kita sendiri di pimpin oleh suatu instansi yang ada di negara kita hasilnya seperti apa.
“Saya sangat apresiasi jika ada supremasi sipil. Jangan semua lembaga dipimpin oleh figur polisi atau militer,” sarannya.
“Selama BIN dipimpin oleh tentara atau polisi, Papua tetap bergejolak. Kini saatnya sipil memimpin BIN,” tegasnya.
Pada saat 1959-1965 yang menjadi Kepala BIN adalah warga sipil yang mempunyai kredibilitas tinggi yaitu Soebandrio, jadi sekarang mengapa tidak dikembalikan lagi bawasan yang menjadi Kepala BIN adalah seorang warga sipil yang kredibilitas dan nasionalismenya sudah tidak diragukan lagi.
Di hampir semua negara demokrasi di dunia ini kepala intelijen negara selalu dipegang sipil.
Pedoman bertindak dan mengambil keputusan seorang tentara adalah hukum humaniter, dan kepolisian selalu tunduk pada hukum pidana. Sedangkan fungsi dasar kerja intelijen adalah tunduk pada politik negara di bawah kendali Presiden. Menilik dari hal tersebut, sebetulnya penunjukan seorang Kepala BIN dari militer atau kepolisian sudah melanggar genetika dasar sebuah badan intelijen negara.
Saya melihat sosok seorang sipil yang pantas untuk memimpin BIN, seperti Ketika kasus kerusuhan di papua, Jika seorang sipil memimpin BIN maka pendekatan yang dilakukan BIN terutama terhadap Papua dan Papua Barat akan lebih humanis atau manusiawi.
“Dengan pendekatan humanis, niscaya rakyat Papua akan lebih dimanusiakan,” jelasnya.
Saya melihat sosok pengamat Intelijen senior Suhendra Hadikuntono adalah sosok yang tepat untuk memimpin instansi BIN. Selain kapasitas dan loyalitasnya, Suhendra juga dinilai berani sehingga diyakini mampu membenahi masalah intelijen di Indonesia, dan mengatasi keadaan karena ia pun berani pasang badan, Naluri intelijen yang dimiliki Suhendra selalu diimplementasikan secara cermat, detail dan efektif, serta mempunyai out put yang signifikan bagi bangsa dan negara. Yang lebih luar biasa, semua itu ia lakukan dengan gerakan senyap dan mandiri. Melalui jaringan yang dimiliki, Suhendra bisa dengan mudah memetakan masalah dan membuat analisis intelijen yang komprehensif, sehingga ujung atau hasilnya pun efektif.Beliau juga sosok yang humanis serta dekat dengan masyarakat
Apa lagi ancaman negara saat ini bersifat multidimensi dan berciri asimetris.oleh sebab itu pendekatan sipil lebih efektif bagi BIN yang harus dekat dengan rakyat
saya yakin pak suhendra akan menunjukkan kemampuanya untuk segera membuat perubahan yang diperlukan di Pejaten, apabila dipercayakan memimpin instansi BIN.
Bukan hanya Laskar Milenial Indonesia (LMI) saja menilai sosok Suhendra Hadikuntono yang tepat menjadi kepala BIN. Dukungan juga di beri oleh banyak seperti Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar.
Hal senada juga diungkapkan Gubernur Jenderal Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) Markus Yenu.
Sudah saatnya “mind frame” (pola pikir) yang berbeda, sehingga dalam operasi intelijen akan lebih humanis, serta mengedepankan “prosperity approach” (pendekatan kesejahteraan) daripada “security approach” (pendekatan keamanan) yang selama ini terbukti gagal.Tutup Christi.
Tinggalkan Balasan