Jakarta – Dugaan manipulasi suara yang terjadi dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 terus bergulir, terlebih usai Ketua KPU Brebes, Manja Lestari Damanik, dan Ketua Bawaslu Brebes, Trio Pahlevi, dicopot dari jabatannya oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pencopotan keduanya dikarenakan melanggar kode etik berat setelah diduga terlibat dalam skema suap yang bertujuan untuk menggelembungkan suara salah satu anggota DPR, bernama Shintya Sandra Kusuma dari Fraksi PDI Perjuangan di Dapil IX Jawa Tengah.
Bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan DKPP menunjukkan adanya aliran dana suap yang diduga disalurkan melalui KPU dan Bawaslu Brebes untuk memastikan kemenangan Shintya.

Bukan hanya itu, tiga anggota KPU Brebes lainnya, yakni Wahadi, Aniq Kanafillah Aziz, dan Muhammad Taufik ZE, juga mendapat sanksi peringatan keras terakhir. Sementara empat anggota Bawaslu Brebes hanya dijatuhi sanksi peringatan.
Pengamat politik, Ray Rangkuti menilai, kasus ini bukan hanya sekadar pelanggaran administratif atau etik, melainkan sebuah ancaman serius terhadap legitimasi wakil rakyat yang terpilih melalui proses curang.
“Jika benar ada bukti penggelembungan suara, ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga soal legitimasi wakil rakyat. Proses hukum harus segera diselesaikan tanpa kompromi,” katanya, Senin, 3 Februari 2025.
Sementara itu Ketua YLBH Garuda Kencana Indonesia Cabang Tegal, Agus Winarko menyebut, fakta hukum dalam kasus ini harus segera ditindaklanjuti secara pidana.
Ia juga menyoroti lambannya proses hukum terhadap para aktor utama yang diduga mendapat keuntungan dari kejahatan pemilu ini.
“Apakah hukum hanya berani menindak mereka yang kecil sementara para aktor besar terus melenggang bebas?” tandas dia.
Di lain sisi, Direktur Studi Demokrasi Rakyat atau SDR, Hari Purwanto menegaskan skandal ini lebih dari sekadar kasus hukum. Ia melihat adanya kelemahan sistemik dalam pengawasan dan integritas lembaga penyelenggara pemilu di tingkat daerah. Menurutnya, bahwa sanksi etik saja tidak cukup.
“Tidak hanya PAW (pergantian antar waktu), tetapi juga ada dampak hukum, baik pidana maupun perdata, bagi pelaku penggelembungan suara. Jika ini dibiarkan, maka keadilan telah mati,” katanya.
Hari juga mengungkapkan bahwa ketidakjelasan penanganan hukum dalam kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemilu mendatang.
“Jika kasus ini tidak diselidiki lebih dalam, maka demokrasi Indonesia berada diambang kehancuran,” katanya.
Merespons hal ini, Caleg DPR Dapil IX Jateng Shintya Sandra Kusuma buka suara. Dilansir detikJateng, Shintya Sandra Kusuma mengaku dirinya tak tahu menahu soal arahan itu. Dia menegaskan perolehan suara yang ditetapkan sudah sesuai dengan data C1 hasil dan D hasil.
“Tidak tahu menahu soal itu (arahan KPU). Yang jelas, rekap perolehan suara yang ditetapkan sudah sesuai dengan C1 dan D hasil. Tidak dari hasil penambahan atau penggelembungan suara,” kata anggota DPR Fraksi PDIP itu, Kamis (30/1/2025).
Dia juga menyatakan uang yang dibagi-bagi oleh KPU dan Bawaslu bukan berasal dari dirinya. Menurutnya, hal itu merupakan penggiringan opini.
“Terkait bagi-bagi uang, itu bukan dari saya. Ada yang sengaja menggiring opini negatif ke saya,” tegasnya.
Tinggalkan Balasan