Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik)

Kasus tambang emas ilegal di Solok Selatan, Sumatra Barat, kembali menyita perhatian publik.

Tidak hanya karena aktivitas tambang ilegalnya yang menghasilkan hingga 30 kilogram emas per bulan, tetapi juga keterlibatan oknum aparat kepolisian yang diduga melindungi aktivitas ini.

Peristiwa penembakan AKP Ryanto oleh AKP Dadang menunjukkan bahwa persoalan ini telah menembus ke dalam tubuh institusi penegak hukum itu sendiri.

Sayangnya, praktik serupa tidak hanya terjadi di Solok Selatan, tetapi juga meluas di banyak daerah di Indonesia, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan daerah lainnya.

Fenomena Tambang Ilegal dan Oknum Aparat

Tambang ilegal, khususnya tambang Galian C seperti pasir, batu, dan emas, sering kali beroperasi dengan perlindungan dari oknum aparat penegak hukum.

Mereka tidak hanya membiarkan aktivitas yang melanggar hukum ini berlangsung, tetapi juga kerap menerima keuntungan dari praktik tersebut.

Kasus di Solok Selatan mengungkap fakta bahwa pembiaran dan kolusi ini memberikan ruang bagi aktivitas yang merusak lingkungan, membahayakan keselamatan masyarakat, dan merugikan negara.

Fenomena serupa ditemukan di berbagai wilayah.

Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, tambang Galian C ilegal telah lama menjadi sumber konflik antara masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum.

Sebagian masyarakat melaporkan keberadaan tambang tersebut, tetapi laporan sering kali berakhir tanpa tindakan tegas.

Keberadaan oknum aparat yang melindungi tambang ilegal ini membuat pelaku merasa kebal hukum, sehingga mereka terus menjalankan operasinya.

Kegagalan Sistemik dan Perlunya Reformasi

Fenomena ini mengindikasikan kegagalan sistemik dalam penegakan hukum, khususnya dalam mengawasi internal institusi kepolisian.

Pembiaran terhadap oknum yang melindungi tambang ilegal menimbulkan kerusakan yang berlipat, dari kehancuran lingkungan hingga rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Solusi untuk mengatasi masalah ini tidak hanya memerlukan tindakan tegas terhadap individu yang terlibat, tetapi juga reformasi institusional yang menyeluruh.

Polri membutuhkan mekanisme pengawasan internal yang lebih ketat dan independen untuk memastikan bahwa setiap aparat bekerja sesuai dengan hukum dan etika.

Selain itu, promosi dan mutasi di tubuh Polri harus lebih transparan untuk mencegah jabatan strategis diisi oleh oknum yang tidak berintegritas.

Butuh Kepolisian Baru yang Konsisten

Kasus tambang emas di Solok Selatan menunjukkan bahwa Polri membutuhkan regenerasi kepemimpinan yang tegas, konsisten, dan bebas dari konflik kepentingan.

Kepolisian yang baru harus berani membongkar praktik lama yang korup dan tidak transparan, termasuk membersihkan lembaganya dari oknum yang terlibat dalam perlindungan tambang ilegal.

Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah juga perlu memperkuat kerangka hukum dan kebijakan terkait aktivitas tambang, baik legal maupun ilegal.

Regulasi yang jelas, penegakan hukum yang konsisten, serta sanksi yang berat bagi pelaku maupun aparat yang melindungi mereka menjadi kunci untuk menghentikan rantai masalah ini.

Kasus Solok Selatan seharusnya menjadi momentum untuk reformasi Polri. Masyarakat membutuhkan polisi yang benar-benar mengabdi pada hukum dan keadilan, bukan yang melindungi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Pembiaran terhadap tambang ilegal telah berlangsung terlalu lama, dan kerusakannya telah terlalu besar.

Sudah saatnya Polri menunjukkan komitmennya untuk melindungi masyarakat dan lingkungan, bukan menjadi bagian dari masalah.

Hanya dengan keberanian dan konsistensi, Polri dapat mengembalikan kepercayaan publik dan menciptakan penegakan hukum yang adil.