Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Nusantara (IKN) telah menjadi salah satu agenda utama pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Namun, urgensi dari pemindahan ini perlu ditinjau kembali. Mengingat banyaknya tantangan dan risiko yang menyertainya, langkah ini tampaknya tidak mendesak, bahkan sebenarnya tidak diperlukan.
Pemindahan ASN yang dirancang di akhir tahun anggaran, menjelang akhir 2024, juga menimbulkan pertanyaan tentang timing yang tepat. Waktu yang lebih ideal seharusnya di awal tahun, seperti Januari atau Februari, untuk menghindari gangguan pada kinerja dan memastikan transisi yang lebih mulus dalam penyusunan anggaran serta pelaksanaan program kerja.
Namun, hingga kini, kesiapan ekosistem kerja seperti layanan internet, perbankan, air, listrik, dan tempat hunian di IKN masih belum beroperasi dengan baik. Kondisi ini semakin memperkuat alasan bahwa opsi pemindahan ASN di tahun 2024 sebaiknya dihindari, karena dapat menimbulkan berbagai kendala operasional yang akan menghambat efektivitas kerja ASN di ibu kota baru.
Penundaan pemindahan ASN dari Juli ke September, yang hingga kini masih belum pasti, mengindikasikan adanya masalah yang lebih kompleks selain kesiapan ekosistem.
Pertama, kendala finansial menjadi isu utama. Pendanaan untuk menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur di IKN tampaknya belum tersedia sepenuhnya, sehingga terjadi kemunduran jadwal. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai buruknya perencanaan proyek yang seharusnya sudah diperhitungkan dengan matang.
Kondisi ini perlu diinvestigasi lebih lanjut melalui audit terkait, karena ada potensi dugaan korupsi dan konflik kepentingan yang membuat proyek ini tidak berjalan sesuai timeline. Transparansi dalam penggunaan anggaran dan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan proyek sangat diperlukan untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif dan efisien.
Kedua, resistensi dari ASN yang enggan pindah ke IKN juga menjadi salah satu akar masalah yang menghambat proses pemindahan. Kekhawatiran akan kualitas hidup di IKN, terutama terkait pendidikan anak, fasilitas kesehatan, serta infrastruktur sosial lainnya, menjadi alasan utama di balik penolakan ini.
Tanpa adanya jaminan yang jelas dari pemerintah mengenai kondisi di IKN, resistensi ini kemungkinan akan terus meningkat dan semakin memperlambat proses pemindahan.
Ketiga, ketidakpastian politik dan kebijakan turut mempengaruhi terhambatnya pemindahan ASN ke IKN. Ketidakpastian investasi di IKN, ditambah dengan mundurnya Kepala dan Wakil Otorita IKN, menimbulkan keraguan apakah proyek ini benar-benar akan tuntas. Selain itu, dengan adanya berbagai kritik terhadap proyek IKN, termasuk dari kalangan politisi dan masyarakat, ada kemungkinan bahwa Presiden terpilih pada masa mendatang, seperti Prabowo, akan mengevaluasi kembali proyek ini.
Situasi ini menciptakan ketidakpastian yang mempengaruhi keputusan jangka panjang mengenai keberlanjutan IKN.
Keempat, tantangan logistik dan operasional juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Pemindahan ribuan ASN dan keluarganya ke lokasi baru bukanlah tugas yang sederhana. Hal ini membutuhkan perencanaan logistik yang sangat matang, namun tampaknya Kementerian PAN-RB belum mampu menangani kompleksitas ini dengan baik.
Tantangan logistik seperti transportasi, pemindahan barang, serta penyiapan fasilitas dasar di tempat tujuan membutuhkan koordinasi yang sangat baik, yang sayangnya, belum tercapai dalam proses ini. Akibatnya, proses pemindahan terus tertunda dan menimbulkan ketidakpastian lebih lanjut.
Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa penundaan pemindahan ASN bukan sekadar soal kesiapan ekosistem, tetapi juga mencerminkan adanya kelemahan mendasar dalam perencanaan, koordinasi, serta pengelolaan proyek IKN secara keseluruhan.
Apakah Pemerintah Perlu Memberi Insentif?
Pemberian insentif kepada ASN untuk pindah ke IKN mungkin diperlukan untuk menarik minat mereka, namun hal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak berlebihan.
Pemberian insentif yang terlalu besar akan menambah beban keuangan negara, yang seharusnya dikelola dengan bijak mengingat kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil. Beban tambahan ini bisa berdampak negatif pada anggaran negara dan mengurangi ruang fiskal untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pembangunan infrastruktur atau program kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, insentif yang berlebihan dapat menimbulkan ketimpangan atau ketidakadilan di kalangan ASN. ASN yang tidak pindah ke IKN mungkin merasa diperlakukan tidak adil jika mereka tidak mendapatkan insentif serupa, meskipun tetap bekerja keras di tempat mereka saat ini. Ini dapat menimbulkan kecemburuan dan mengganggu harmoni serta produktivitas dalam tubuh birokrasi.
Untuk menghindari peningkatan anggaran belanja pegawai yang tidak perlu, insentif yang diberikan seharusnya berasal dari efisiensi anggaran yang sudah ada. Salah satu cara adalah dengan mengalokasikan kembali dana yang selama ini dihabiskan untuk rapat-rapat dan kegiatan ASN yang kurang produktif.
Dengan mengurangi alokasi untuk kegiatan semacam ini dan mengalihkannya menjadi insentif yang lebih strategis, pemerintah dapat memberikan insentif tanpa harus menambah anggaran belanja pegawai baru.
Pendekatan ini akan memastikan bahwa insentif yang diberikan bersifat adil, proporsional, dan tidak membebani anggaran negara.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa insentif ini benar-benar mendorong ASN untuk beradaptasi dan bekerja dengan baik di IKN, bukan sekadar menjadi bonus tanpa memberikan dampak nyata terhadap kinerja mereka.
Dengan demikian, insentif bisa menjadi alat yang efektif untuk mendukung suksesnya pemindahan ASN ke IKN tanpa menimbulkan dampak negatif jangka panjang bagi keuangan negara dan integritas birokrasi.
Tinggalkan Balasan