JAKARTA – Peristiwa 10 November tidak bisa dipisahkan dari peran besar para ulama-ulama NU. Terutama sosok Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang mencetuskan fatwa Resolusi Jihad NU yang menggerakkan warga dan juga kalangan santri untuk menghantam pasukan sekutu di Surabaya yang ingin menjajah kembali.
Tujuh puluh empat (74) tahun telah berlalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar Nahdlatul Ulama Hadratus as-Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, dideklarasikanlah perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad fii sabilillah. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad NU.
Resolusi Jihad mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.
Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan saja disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November, yaitu salah satu perang terbesar sepanjang sejarah republik ini. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syuhada (mati syahid). Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris sang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah.
Seruan ini juga diyakini memiliki sumbangan besar atas pecahnya Peristiwa 10 November 1945 yang terkenal dan kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Tidak terbatas pada Peristiwa 10 November 1945, seruan ini berdampak panjang pada masa berikutnya. Perjuangan kemerdekaan yang melibatkan massa rakyat yang berlangsung hampir empat tahun sesudah itu di berbagai tempat di Jawa khususnya hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 juga banyak didorong oleh semangat jihad yang diserukan melalui resolusi ini.
Pada akhirnya, Resolusi Jihad NU tak lain merupakan bukti historis komitmen NU untuk membela dan mempertahankan Tanah Air yang merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathon minal iman).
Hal ini mengemuka dalam diskusi serius tapi santai (SerSan) oleh para tokoh muda dan Cendekiawan yang tergabung dalam Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) pada acara NGÕBR@$ (Ngopi Bareng Sahabat) LKSB.
Acara yang menghadirkan narasumber utama Abdul Ghopur selaku Direktur Eksekutif LKSB. Diskusi rutin LKSB yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan ke 74 ini mengangkat tema: “BAKTI ULAMA DAN SANTRI UNTUK NEGERI,” dihadiri para perwakian senat/BEM mahasiswa di Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Ghopur mengatakan, bahwa semua pihak harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang bahkan gugur di medan perang. Sebab mereka telah berkorban nyawa, jiwa-raga, darah dan air mata.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Kalau tak ada pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan, kita juga sudah pasti tak ada,” ungkap Ghopur.
Demikian pula dengan Resolusi Jihad NU, kata dia, jika tak ada fatwa jihad ini, tentu tak akan ada perang 10 November 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih bangsa Indonesia.
“Oleh karena itu, sebagai generasi muda penerus dan pelurus sejarah perjuangan bangsa, kita harus meneruskan semangat juang para pahlawan dalam mengisi kemerdekaan yang dengan susah-payah diraih. Semangat kepahlawanan jangan sampai mati, dan jangan sekali-kali melupakan sejarah atau Jas Merah kata Bung Karno,” katanya lagi.
Akan tetapi, tambah Ghopur, yang paling penting daripada itu adalah bahwa tak ada penjajahan paling dahsyat di dunia selain penjajahan pikiran. Penjajahan paling fenomenal di abad 21 ini adalah penjajahan kebudayaan.
“Maka berpikirlah merdeka agar tak terjajah,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan