Rimanews.id – Perdebatan tentang jejak khilafah di nusantara seperti yang ditayangkan dalam video garapan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih menyisakan perdebatan yang belum tuntas. Apakah benar ada jejak Khilafah di tanah nusantara.

Dalam sebuah webinar yang digelar oleh Forum Santri Nusantara, Dosen Antropologi Universitas Halu Oleo (UHO), Abdul Djalil memberikan komentarnya.

Pria yang karib disapa Gus Djalil itu menilai bahwa khilafah di nusantara seperti yang dituangkan di dalam film jejak khilafah di nusantara itu sangat patut untuk diragukan kredibilitasnya.

“Alih-alih mengklaim ingin menunjukkan fakta sejarah, sejarawan seperti Peter Carey dan Alwi Alatas justru memilih mundur karena terjadi rekayasa maksud tujuan film itu. Yang mereka akui sebagai sejarawan ternyata adalah sejarawan yang malang melintang meneliti sejarah Indonesia bahkan jauh sebelum Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia,” kata Gus Djalil, Kamis (8/10/2020).

Ia menilai jika memang film tersebut adalah realitas bukan rekayasa semata, maka kedua sejarawan yang sempat dicatut namanya itu tak akan mundur.

“Pertanyaan sederhananya, jika memang ini film yang menceritakan sebenarnya sejarah, mengapa para sejarawan tersebut memilih mundur, sehingga akhirnya HTI menyulap kader-kadernya sebagai ”sejarawan” untuk melegitimasi gagasan mereka seperti Nicko Pandawa (kader HTI), Septian AW (kader HTI), Hafidz Abdurrahman (Ketua DPP HTI). Bahkan sebelum memutar film, Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib sudah lebih dahulu memberikan wejangan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Penulis, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII, Falihin Barakati menyebut bahwa berdasarkan hasil riset LIPI tahun 2011 juga telah menyebutkan bahwa di lima Universitas di Indonesia antara lain ; UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip terdapat peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan.

Ia pun menyebut bahwa kampus sebagai kalangan para generasi muda yang masih mencari jati diri menjadi target yang sangat empuk bagi penyebaran paham radikal ala Khilafah Islamiyah HTI.

“Bahwa kampus sudah menjadi ladang subur tumbuhnya paham radikal dan tentunya hal ini suatu ancaman besar bagi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia,” kata Falihin.

Dalam banyak kasus, ia menyebut bahwa bidikan dari pengusung radikalisme adalah mahasiswa yang masih belum tau apa-apa atau tidak memiliki latar keagamaan yang kuat. Kepolosan itulah yang kemudian dimanfaatkan memberikan doktrin keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari konstektualisasi.

“Di samping itu, proses kaderisasi paham radikal juga dilakukan secara tertutup,” imbuhnya.

Temukan juga kami di Google News.