Oleh : Lukman Hakim

Hari Bhayangkara ke-79, yang diperingati pada 1 Juli 2025, mengusung tema “Polri untuk Masyarakat,” sebuah cerminan komitmen Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Oleh karena itu, tema ini jangan hanya sekadar slogan, melainkan untuk merefleksikan perjalanan sejarah Polri, meneladani tokoh-tokoh besar seperti Hoegeng Iman Santoso dan Gajah Mada, guna mengaktualisasikan serta merumuskan langkah perbaikan di tengah tantangan masa kini. Mari kita telusuri perjalanan sejarah Polri: Dari Bhayangkara Majapahit hingga Institusi Kepolisian Modern

Nama “Bhayangkara” sendiri berasal dari pasukan elit Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, yang dibentuk oleh Patih Gajah Mada untuk melindungi raja dan menjaga stabilitas kerajaan. Berawal dari 15 pengawal setia Raja Jayanegara, pasukan ini dipandu oleh prinsip Catur Prasetya: kesetiaan pada negara, keberanian melawan musuh, tanggung jawab menjaga keutuhan wilayah, dan pengabdian tanpa pamrih. Prinsip ini menjadi landasan spiritual Polri modern sejak diadopsi pada 4 April 1961.

Polri secara resmi lahir pada 1 Juli 1946 melalui Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946, yang mengintegrasikan kepolisian daerah menjadi satu kesatuan nasional di bawah Perdana Menteri. Sejak itu, Polri telah melewati berbagai fase: dari perjuangan kemerdekaan melawan agresi Belanda, peran kombatan dalam pertempuran seperti 10 November 1945 di Surabaya, hingga menjadi institusi penegak hukum yang mandiri pasca-pemisahan dari ABRI pada 1967. Hari Bhayangkara menjadi momen untuk mengenang perjuangan ini sekaligus menegaskan visi Polri sebagai pengayom masyarakat.

Jiwa Bhayangkara: Gajah Mada dan Teladan Hoegeng

Dua tokoh besar, Hoegeng Iman Santoso dan Gajah Mada, menjadi simbol jiwa Bhayangkara yang relevan dengan tema “Polri untuk Masyarakat.”

Gajah Mada, sebagai pendiri pasukan Bhayangkara, menunjukkan visi besar melalui Sumpah Palapa, janji untuk mempersatukan Nusantara demi kejayaan Majapahit. Ia memimpin dengan disiplin, keberanian, dan kesetiaan, seperti saat menggagalkan pemberontakan Ra Kuti pada 1319. Prinsip Catur Prasetya yang ia rumuskan menjadi landasan pasukan Bhayangkara untuk melindungi rakyat dan menjaga stabilitas. Semangat Gajah Mada mencerminkan kepemimpinan yang berorientasi pada persatuan dan kesejahteraan masyarakat, nilai yang esensial bagi Polri modern.

Kemudian, sebagai Kapolri periode 1968–1971, Hoegeng dikenal sebagai “Polisi Jujur” yang menolak korupsi dan hidup sederhana meski berada di puncak jabatan. Ia menolak fasilitas mewah, seperti mobil dinas impor, dan memilih sepeda motor pribadi, mencerminkan integritas dan kedekatan dengan rakyat. Keberaniannya menegakkan hukum tanpa tekanan politik, seperti dalam penanganan kasus korupsi, serta reformasinya di Mabes Polri, menjadikannya teladan pengabdian tanpa pamrih. Jiwa Hoegeng selaras dengan Catur Prasetya, terutama dalam melawan “musuh” berupa korupsi dan menjaga keadilan untuk masyarakat.

Tantangan dan Relevansi Nilai Bhayangkara

Pada 2025, Polri menghadapi tantangan kompleks di era digital dan globalisasi. Isu seperti kejahatan siber, hoaks, polarisasi sosial, dan korupsi menguji komitmen Polri sebagai pengayom masyarakat. Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 di Monas, Jakarta, yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto, menampilkan parade kendaraan taktis, bakti sosial, dan atraksi teknologi seperti robot humanoid, menunjukkan upaya Polri untuk beradaptasi dengan zaman. Program seperti Polisi RW dan kegiatan sosial, seperti santunan anak yatim di Polres Pasuruan, mencerminkan semangat “Polri untuk Masyarakat.” Namun, beberapa tantangan masih nyata:

Pertama, Korupsi dan Kepercayaan Publik. Meski Polri telah menangani kasus-kasus besar, laporan media sosial pada 2025 menunjukkan adanya skandal korupsi yang melibatkan oknum anggota, melemahkan kepercayaan publik. Indeks Persepsi Korupsi 2024 menempatkan Indonesia di posisi menengah, menandakan perlunya reformasi integritas.

– Kedua, polarisasi dunia cyber atau digital. Penyebaran hoaks dan narasi memecah belah di media sosial menuntut Polri untuk lebih proaktif dalam patroli siber tanpa dianggap represif.

Ketiga, Ekspektasi Masyarakat. Masyarakat modern menginginkan Polri yang transparan, responsif, dan dekat, seperti yang ditunjukkan Hoegeng, serta kuat dalam menjaga keutuhan negara, seperti Gajah Mada.

Nilai Hoegeng tentang kejujuran dan kedekatan dengan rakyat sangat relevan untuk mengatasi korupsi dan membangun kepercayaan publik. Sementara itu, visi Gajah Mada tentang persatuan dan disiplin diperlukan untuk menghadapi ancaman siber dan polarisasi, memastikan Polri tetap menjadi pilar stabilitas nasional.

Menuju Polri yang lebih baik.

Untuk mewujudkan tema “Polri untuk Masyarakat” dan meneladani Hoegeng serta Gajah Mada, Polri perlu mengambil langkah konkret berikut:

1. Memperkuat Integritas ala Hoegeng.
– Pendidikan Etika: Integrasikan kisah Hoegeng dalam kurikulum Akademi Kepolisian untuk menanamkan nilai kejujuran dan anti-korupsi sejak dini.
– Transparansi dan penegakan hukum: Publikasikan laporan kinerja dan penanganan kasus secara berkala untuk membangun kepercayaan publik, seperti yang dilakukan Hoegeng dengan keterbukaannya.
– Pengawasan Internal: Perkuat peran Divisi Propam untuk mencegah pelanggaran oknum, dengan sanksi tegas bagi pelaku korupsi.

2. Mengadopsi Visi Gajah Mada
– Kepemimpinan Visioner: Latih pemimpin Polri yang berpikiran strategis melalui pelatihan berbasis Catur Prasetya, fokus pada tantangan modern seperti kejahatan siber dan terorisme.
– Persatuan Nasional: Perkuat patroli siber untuk melawan hoaks dan narasi polarisasi, dengan pendekatan yang inklusif agar tidak dianggap membatasi kebebasan berekspresi.
– Disiplin dan Profesionalisme: Tingkatkan pelatihan fisik, mental, dan teknologi bagi anggota, terutama Brimob, untuk menghadapi situasi krisis dengan disiplin tinggi.

3. Mendekatkan Polri dengan Masyarakat:
– Perluas Polisi RW ditingkat komunitas-komunitas rakyat: Jadikan Polisi RW sebagai platform dialog rutin dengan masyarakat, bukan hanya seremonial, untuk menyerap aspirasi seperti yang dilakukan Hoegeng.
– Kampanye Digital: Manfaatkan media sosial untuk mempopulerkan nilai-nilai Bhayangkara, seperti Catur Prasetya, melalui konten yang menarik bagi generasi muda.
– Kegiatan Sosial Berkelanjutan: Lanjutkan kegiatan sosial seperti yang dilakukan pada Hari Bhayangkara 2025, seperti santunan dan bazar UMKM, sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat.

4. Adaptasi Teknologi dan Era Digital:
– Kembangkan unit siber Polri untuk menghadapi kejahatan digital, seperti penipuan online dan peretasan, dengan teknologi canggih seperti yang ditampilkan pada peringatan Hari Bhayangkara 2025 (robot humanoid dan robot dog, kemudian menggunakan analitik data untuk memetakan potensi konflik sosial, memungkinkan respons cepat dan preventif.

Pada akhirnya, Hari Bhayangkara ke-79 pada 1 Juli 2025 harus menjadi momen refleksi untuk memperkuat komitmen Polri sebagai pengayom masyarakat. Dengan meneladani integritas dan kedekatan Hoegeng serta visi persatuan dan disiplin Gajah Mada, Polri dapat menghadapi tantangan modern seperti korupsi, polarisasi digital, dan ekspektasi publik. Langkah perbaikan melalui pendidikan etika, transparansi, kedekatan dengan masyarakat, dan adaptasi teknologi akan memastikan Polri tetap setia pada jiwa Bhayangkara: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat sesuai visi “Polri untuk Masyarakat” demi Indonesia yang lebih aman, adil, dan makmur sejahtera.

DIRGAHAYU BHAYANGKARA KE 79 – 2025!

Temukan juga kami di Google News.