JAKARTA – Pilkada serentak tahun 2020 ini dinilai masih rawan dari serangan isu Suku, Agama, dan Antar Golongan (SARA). Kemunculan isu tersebut rentan menimbulkan konflik dan perpecahan di tengah masyarakat.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan selain isu SARA atau politik identitas, masyarakat juga masih diresahkan dengan maraknya informasi palsu atau hoax terkait pesta demokrasi ini, sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu proses Pilkada serentak dan menimbulkan perpecahan dikalangan masyarakat di masa pandemi covid-19.
“Isu ini mudah bisa dipakai setiap kali proses politik seperti pemilu atau Pilkada di negara ini. Saya kira isu politik identitas dan hoax itu sangat mungkin akan berkembang. Kemudian tinggal dikompor-komporin saja, barang itu biasanya jadi,” ungkap Lucius Karus, saat ditemui dikediamannya, hari ini.
Menurut dia, isu identitas ini masih akan digunakan oleh calon-calon untuk meraih dukungan, dan ini menjadi masalah serius sekali terkait dengan keyakinan sehingga membuat politik identitas ini terus berlangsung tetapi kita berhadapan dengan calon-calonnya bahkan tanpa konsep-konsep bahkan tanpa program.
“Hanya karena punya uang baru dia bisa membeli partai politik dan maju sebagai calon orang-orang seperti ini akan dengan mudah lari ke hal-hal pragmatis, untuk kemudian bisa menang,” ujar Lucisu Karus.
Mestinya, kata dia, bukan waktu atau momen yang tepat bagi calon-calon atau pakai partai politik untuk menggunakan isu politik identitas. Kata dia, bagaimana mungkin orang menderita kelaparan saat orang kesulitan secara ekonomis ada orang yang kemudian tanpa beban menjual keyakinan menjual agama untuk meraih simpati publik. Dan menang dalam pemilu.
“Saya kira orang-orang yang seperti itu tidak akan dipilih karena pemilih akan mengatakan kita selalu sibuk mengurus apa isi perut, sementara lu mau rebut kursi kepala daerah dan menggunakan isu-isu politik identitas untuk kepentingan pribadi,” ucap Lucius.
Kendati demikian, Lucius berharap politik identitas tidak dipakai secara massif untuk para calon-calon pada masa pandemi Covid-19 saat seperti sekarang ini membangunkan solidaritas sosial yang membuat mereka tidak mudah untuk kemudian di kotak-kotakan dari sisi agama atau keyakinan tapi dari sisi politik.
“Isu politik identitas paling mudah untuk digunakan dalam menggerakkan dukungan dari pemilih dan diprediksi masih dipakai pada proses kampanye Pilkada 2020,” sebut Lucius.
Lucius melanjutkan fenomena hoax bisa berkembang di masa pandemi covid-19, karena pemilih akan dialirkan ke dunia virtual, apalagi masyarakat tidak mengenal siapa-siapa yang menyampaikan sesuatu.
“Orang bisa muncul dengan nama-nama palsu dan lain sebagainya untuk sekedar kemudian membangun konsolidasi pemilih dan hoax serta politik identitas tokoh yang terkait dengan wacana itu. Saya kira memang paling manjur untuk kemudian dipakai sebagai materi kampanye pilkada 2020, karena mediumnya itu tadi,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan