Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar
Sulit dipercaya jika seorang Profesor hukum tidak bisa membedakan antara ajaran Islam dengan pemahaman seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran Islam, antara nash dan mafhum nash, antara syariat dan fiqih.
Tapi itulah yang terjadi. Lontaran-lontaran opini yang mendeskriditkan pemerintah disertai diksi bombastis khas HTI memenuhi kerap dilontarkan Prof Suteki. Tidak bisa disalahkan jika sebagian pengamat menilai penjelasan Prof Suteki setengah ilmiah, setengahnya lagi propaganda khas HTI. Apakah karena Prof Suteki seorang anggota atau simpatisan HTI? Wallahu a’lam.
Yang pasti bangunan logika Prof Suteki tentang perjuangan HTI adalah dakwah keagamaan dalam rangka menyampaikan ajaran Tuhan, sangat menggelikan karena seandainya dakwah keagamaan yang menjadi alasan pembubaran HTI melalui Perppu Ormas tentu saja NU, Muhammadiyah, DDII, Persis dan ormas Islam lainnya juga dibubarkan.
Faktanya, pemerintah mendukung dakwah keagamaan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam tersebut. Dilindungi, difasilitasi dan dibiayai, meski tidak 100%.
Sangat naif kiranya, dakwah ormas gurem seperti HTI digeneralisir sebagai dakwah Islam. HTI sama sekali tidak merepresentasikan umat Islam Indonesia. Nalar sehat umat pasti menolak jika HTI yang anggotanya hanya belasan ribu orang dianggap mewakili wajah dakwah Islam di Indonesia.
Mempersoalkan agama dan Pancasila apalagi mempertentangkannya seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang Profesor. Keserasian agama dan Pancasila sudah banyak dibahas secara ilmiah dan akademis.
Sebelum Hizbut Tahrir hadir di sini, para ulama dari berbagai ormas baik kalangan tradisionalis maupun modernis, sepakat akan keabsahan, keserasian dan keselarasan Pancasila, UUD 45 dan NKRI dengan ajaran Islam. Jadi membenturkan agama dan Pancasila ibarat mengurai benang kain yang sudah rapi.
Yang semestinya Prof Suteki cermati adalah pemahaman keagamaan HTI terutama fiqih siyasah mereka, adakah pertentangannya dengan Pancasila, UUD 45 dan NKRI?
Sebagai orang yang kerap menjadi narasumber di forum-forum HTI bersama Jubir HTI, pasti Prof Suteki pasti mengenal corak pemikiran dan pendapat fiqih HTI. Tentang Khilafah misalnya. Khilafah ini jadi alasan pemerintah melarang HTI. Sebagai ahli hukum Prof. Suteki sudah sangat paham tentang Khilafah dalam pembahasan fiqih para ulama.
Terdapat banyak pendapat tentang Khilafah. Setiap pendapat bersandar pada nash dan metode istidlal dan istinbath-nya.
Adapun pendapat fiqih HTI terkait Khilafah salah satu diantara sekian banyak pendapat yang ada.
Fiqih HTI mengatakan Khilafah adalah bentuk negara dan sistem pemerintahan untuk umat Islam seluruh dunia yang mengadopsi Undang-undang Dasar (dustur) yang disusun Amir Hizbut Tahrir dan menjadikan Amir Hizbut Tahrir (kader terbaik Hizbut Tahrir) sebagai Khalifah. Pendapat fiqih HTI ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 pada aspek penerapan sistem kenegaraan dan paham kebangsaan.
Penerapan Pancasila dan UUD 45 hanya bisa dilakukan di negara kesatuan yang berbentuk republik pada batas teritorial Indonesia (NKRI). Pancasila dan UUD 45 tidak bisa diterapkan di negara Khilafah Tahririyah ala HTI. Di sinilah pertentangan antara pendapat fiqih HTI dengan Pancasila, UUD 45 dan NKRI.
Sebenarnya banyak pertentangan pendangan fiqih HTI dengan Pancasila dan UUD 45. Jika menurut HTI dan Prof. Suteki, Khilafah Tahririyah ala HTI sesuai dengan Pancasila dan UUD 45, ya sudah, ikuti saja Pancasila dan UUD 45, tidak usah capek-capek mengantinya dengan ideologi (mabda’) HTI dan mengganti UUD 45 dengan dustur rancangan Amir Hizbut Tahrir. Jika demikian adanya, saya rasa tidak perlu lah Prof. Suteki menjadi perisai bagi HTI? Banyak mudharatnya.
Ciputat, 10 Juni 2020

Temukan juga kami di Google News.