Oleh : Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Kebijakan pemerintah yang akan memotong gaji pekerja untuk iuran tambahan dana pensiun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), memicu kekhawaatiran di kalangan kelas pekerja.
Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, kebijakan ini terasa tidak tepat waktu.
Kelas pekerja yang sudah bergulat dengan kenaikan biaya hidup kinii harus menghadapi penurunan daya beli yang lebih besar, sementara perusahaaan pun tengah berjuang untuk bertahan di tengah penurunan ekonomi.
Beban Tambahan bagi Pekerja: Daya Beli Makin Tergerus
Dengan gaji rata-rata sekitar Rp 4 juta per bulan, pekerja di Indonesia harus menghadapi berbagai beban pengeluaran yang cukup signifikan.
Pajak penghasilan (PPh) mengurangi sekitar 5% dari pendapatan mereka, sementara iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mengambil masing-masing 4% dan 3%.
Selain itu, pekerja juga harus mengeluarkan sekitar 3,75% dari gaji mereka untuk gas LPG dan biaya transportasi KRL, yang menjadi kebutuhan harian.
Biaya bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu beban terbesar, mencapai 12,5% dari pendapatan.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga menambah beban sebesar 2% (dari 10 persen menjadi 12 persen).
Secara total, potongan dan pengeluaran ini menggerus 34% dari gaji pekerja, menyisakan sekitar 66% untuk kebutuhan hidup lainnya, yang tentunya semakin terbatas dengan berbagai kenaikan biaya hidup.
Berdasarkan perhitungan, sekitar 34% dari gaji mereka terpakai hanya untuk memenuhi pengeluaran wajib ini, belum termasuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, transportasi, dan perumahan.
Tambahan iuran pensiun yang diusulkan akan semakin memperkecil daya beli pekerja, membuat mereka semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pekerja yang seharusnya bisa menabung atau menyisihkan dana untuk kebutuhan mendesak lainnya kini harus merelakan sebagian besar dari penghasilan mereka untuk berbagai potongan wajib.
Perusahaan Sedang Tidak Sehat: Penurunan PMI dan Ancaman PHK Massal
Di sisi lain, kondisi perusahaan saat ini juga sedang dalam tekanan. Purchasing Managers’ Index (PMI)—yang menjadi indikator kunci kesehatann sektor manufaktur—telah menunjukkan penurunan dalam beberapa bulan terakhir.
Penurunan ini mengindikasikan bahwa permintaan terhadap barang dan jasa menurun, sehingga banyak perusahaan mengalami kesulitan mempertahankan produksi dan profitabilitas.
Lebih buruk lagi, Indonesia telah mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut, yang merupakan tanda penurunan harga barang dan jasa karena turunnya permintaan.
Akibatnya, banyak perusahaan kini tengah mempertimbangkan langkah-langkah drastis seperti PHK massal untuk mengurangi beban operasional mereka.
Kondisi ini tentunya memperburuk ketidakpastian bagi kelas pekerja yang sudah merasa tertekan oleh iuran tambahan pensiun.
Iuran Tambahan Pensiun: Makin Tidak Tepat di Tengah Kelesuan Ekonomi
Dengan kondisi perusahaan yang melemah dan ancaman PHK massal yang semakin nyata, kebijakan iuran tambahan pensiun bisa mempercepat krisis.
Pekerja yang sudah kesulitan mempertahankan daya beli kini harus menghadapi ketidakpastian pekerjaan, sementara perusahaan berpotensi memberatkan beban operasional mereka dengan tambahan kewajiban pensiun.
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa adanya penyeimbangan seperti kenaikan upah minimum atau subsidi tambahan, dampak negatifnya akan dirasakan secara luas.
Tidak hanya pekerja yang akan kehilangan pendapatan signifikan, tetapi perusahaan juga akan semakin kesulitan bertahan. Dalam jangka panjang, ini berpotensi menekan konsumsi domestik—motor penggerak utama perekonomian Indonesia—dan memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Solusi yang Perlu Dipertimbangkan
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan iuran tambahan pensiun ini dengan mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah dampak negatif yang lebih besar:
Pertama, Menunda Penerapan Iuran Pensiun Tambahan: Pemerintah dapat menunda penerapan kebijakan ini sampai situasi ekonomi stabil. Fokus saat ini harus diarahkan pada pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, bukan penambahan beban bagi pekerja dan perusahaan.
Kedua, Meningkatkan Daya Beli Publik: Relaksasi pajak PPh dan PPN serta Kenaikan upah minimum yang sebanding dengan biaya hidup dapat membantu menjaga daya beli pekerja, sehingga mereka tidak merasa terlalu terbebani oleh potongan iuran pensiun.
Ketiga, Menyediakan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Pensiun yang sudah ada termasuk harmonisasi TASPEN, ASABRI dan BPJS JHT. Hal ini Untuk menghindari kekhawatiran akan penyalahgunaan dana pensiun, pemerintah perlu memastikan transparansi dalam pengelolaan dana tersebut. Sistem pengawasan yang ketat dan akuntabel harus diterapkan agar pekerja merasa tenang bahwa dana mereka akan dikelola dengan baik.
Iuran tambahan pensiun, meskipun bertujuan untuk jaminan hari tua, saat ini terasa tidak tepat.
Kelas pekerja semakin terbebani oleh berbagai potongan wajib, sementara perusahaan tengah menghadapi krisis yang mengancam keberlanjutan mereka.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menyeimbangkan kebijakan ini dengan realitas ekonomi, dampak yang lebih besar bisa terjadi: penurunan daya beli, PHK massal, dan stagnasi ekonomi jangka panjang.
Saatnya untuk mengevaluaasi kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih adil bagi semua pihak.
Tinggalkan Balasan