Jakarta – Petisi 100 menilai, MPR dan DPR gagal dalam menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya, karena tak juga kunjung melakukan proses pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo, meski Joko Widodo telah melanggar amanat konstitusi, prinsip-prinsip HAM, serta melanggar sejumlah UU/peraturan dan diduga melakukan KKN.

“Pada Juli 2023 di Ruang GBHN Nusantara V, Gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta, Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat telah menuntut agar Presiden Jokowi segera dimakzulkan karena pelanggaran amanat konstitusi, prinsip-prinsip HAM, sejumlah UU/peraturan dan dugaan berbagai tindakan KKN. Namun, setelah setahun berlalu, DPR dan MPR, yang seharusnya melakukan proses pemakzulan telah gagal melakukan tugas dan fungsi konstitusionalnya. Padahal, menurut Pasal 7A UUD 1945, delik untuk terjadinya pemakzulan, baik berdasar pertimbangan administrarif, moral dan hukum sudah lebih dari cukup,” kata Petisi 100 seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Jumat (12/7/2024).

Menurut Petisi 100, salah satu sebab gagalnya DPR memulai proses pemakzulan melalui pelaksanaan Hak Angket diyakini karena terjadinya politik penyanderaan di satu sisi, dan terjadinya dugaan korupsi oleh sejumlah anggota parlemen di sisi lain. Sementara itu ambisi rezim oligarki untuk tetap mencengkeram kekuasaan demikian besar, sehingga merasa sangat nyaman untuk melakukan politik kekuasaan menghalalkan segala cara.

Sebagai pemimpin eksekutif, lanjut Petisi 100, Joko Widodo telah menempatkan diri di atas dua cabang kekuasaan lain, yakni kekuasaan legislatif/DPR yang telah dilumpuhkan melalui “politik sandera”, dan kekuasaan yudikatif (MK dan MA) yang diduga berlangsung melalui politik bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan otoriter.

Petisi 100 membeberkan, pengkhianatan Joko Widodo terhadap konstitusi antara lain dilakukan adalah penerbitan Perppu tanpa dasar kegentingan memaksa (melanggar Pasal 22 UUD 45), menerbitkan Perpres APBN pengganti UU dengan mengeliminasi hak DPR (melanggar Pasal 23 UUD 45), membentuk UU IKN dan UU Ciptaker dengan mengeliminasi hak partisipasi publik/rakyat (melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28E, UUD 45).

Untuk Pelanggaran HAM Berat, Petisi 100 menyebut pembunuhan 6 anggota Laskar FPI yang dikenal sebagai kasus KM 50. Dalam kasus ini, Joko Widodo dinilai melanggar Pasal 28 UUD 45 dan UU No.26/2000 karena membiarkan proses penyelidikan dan penyidikan oleh pihak Kepolisian, bukan oleh KOMNAS HAM. Padahal, pelaku kekerasan dalam KM 50 adalah aparat hukum.

Joko Widodo juga diyakini berkhianat terhadap konstitusi dengan menetapkan UU Minerba No.3/2020 yang dinilai pro oligarki (melanggar Pasal 33, Pasal 27, Pasal 28E UUD 1945). Penerbitan UU ini merugikan negara lebih dari Rp 7000 triliun. Juga dengan membuat program hilirisasi atau “seperempat hilirisasi”, serta berbagai kebijakan pro oligarki dan pro China.

“Joko Widodo merupakan tokoh sentral di balik terbitnya Putusan MK No.90/ 2023 yang memungkinkan Gibran, putranya, lolos menjadi Cawapres. Intervensi otoriter Jokowi terhadap MK ini telah mengangkangi amanat reformasi, melanggar TAP MPR No.XI/1998, Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 22 UU No.28/1999,” imbuh Petisi 100.

Petisi 100 juga menyoroti terbitnya Putusan MA No.23/2024 yang meloloskan putra bungsu Joko Widodo, yakni Kaesang Pengarep, untuk dapat mengikuti Pilkada Serentak 2024 sebagai Cagub/Cawagub, karena juga diyakini mengandung unsur intervensi Joko Widodo.

Proyek Ibukota Nusantara (IKN) juga tak.luput dari sorotan Petisi 100 dan infrastruktur lain yang diduga tanpa didukung studi kelayakan, prioritas kebutuhan dan kemampuan keuangan negara, seperti proyek pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara dan kereta api cepat. Proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri ini bahkan diduga sarat KKN dan mark-up biaya.

Akibat dari proyek-proyek ini antara lain telah meningkatkan utang dan bunga utang negara, serta membangkrutkan sejumlah BUMN dan membebani APBN,” kata Petisi 100.

Atas hal ini, Petisi 100 menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menuntut DPR dan MPR segera memproses pemakzulan Joko Widodo.

2. Menuntut berlangsungnya berbagai upaya optimal dari segenap komponen bangsa, agar Jokowi selain dimakzukan seperti disebut pada point pertama diatas, juga sangat patut dimintakan pertanggungjawabannya melalui proses hokum dimuka Pengadilan.

3. Menuntut agar Gibran sebagai anak haram konstitusi yang tidak legitimate agar tidak dilantik menjadi Wakil Presiden.

4. Menuntut agar ASN, TNI dan Polri bersikap netral sesuai konstitusi dan UU, serta tidak tunduk memihak kepentingan rezim nepotisme dan pengusaha oligarkis.

5. Mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan berjuang demi memulihkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang telah dirampas oleh rezim oligarki nepotis.

Petisi 100 beranggotakan tokoh-tokoh dari kalangan akademisi, ekonom, aktivis, purnawirawan, dan lain-lain, di antaranya Laksamana TNI Purn. Slamet Soebijanto; Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto; Anthony Budiawan, HM. Rizal Fadillah, Syafril Sjofyan, dan KH. Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam).

Temukan juga kami di Google News.