KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
Oleh: Raden Roro Atika Pitasari
Dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, dan dalam setahun belakangan ini dunia juga mulai dilanda oleh krisis pangan. Menurut Sunday Herald (12/3/2008), krisis pangan kali ini menjadi krisis global terbesar abad ke-21, yang menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Santosa (2008) mencatat dari pemberitaan di Kompas (21/1/2007) bahwa akibat stok yang terbatas, harga dari berbagai komoditas pangan tahun 2008 ini akan menembus level yang sangat mengkhawatirkan. Harga seluruh pangan diperkirakan tahun ini akan meningkat sampai 75% dibandingkan tahun 2000; beberapa komoditas bahkan harganya diperkirakan akan mengalami kenaikan sampai 200%. Harga jagung akan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir, kedelai dalam 35 tahun terakhir, dan gandum sepanjang sejarah.
Ada yang berpendapat bahwa krisis pangan global sekarang ini adalah hasil dari kesalahan kebijakan dari lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia dan IMF (Dana Montere Internasional) dan juga kesalahan kebijakan dari banyak negara di dunia, termasuk negara-negara yang secara potensi adalah negara besar penghasil beras seperti Indonesia, India dan China. Schutter, misalnya, ketua FAO (badan PBB yang menangani pangan dan pertanian) mengatakan bahwa Bank Dunia dan IMF menyepelekan pentingnya investasi di sektor pertanian. Salah satu contohnya adalah desakan dari kedua badan dunia ini kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menghasilkan komoditas berorientasi ekspor, terutama manufaktur, dengan mengabaikan ketahanan pangan.
Saran atau desakan ini juga diberikan ole IMF kepada pemerintah Indonesia pada masa Soeharto, dan bahkan dipaksakan setelah krisis ekonomi 1997/98, yakni mengurangi secara drastis peran Bulog. Akibatnya, terjadi kekacauan manajemen pangan karena semuanya diserahkan kepada sektor swasta. Walaupun belum ada bukti secara ilmiah bahwa mengecilnya peran Bulog dalam era pasca krisis sekarang ini menjadi penyebab utama lemahnya ketahanan pangan di Indonesia, namun sudah pasti bahwa reformasi Bulog tersebut turut berperan.
Selain hasil kebijakan yang salah seperti yang disebut di atas, krisis pangan global saat ini, yang mengakibatkan naiknya harga beras (beras putih Thailand 100% kualitas B) secara signifikan di pasar dunia, dari 203 dollar AS/ton pada 3 Januari 2004 ke 375 dollar AS/ton pada 3 Januari 2008 dan mencapai 1000 dollar AS/ton pada 24 April 2008,4juga disebabkan oleh peningkatan permintaan beras yang sangat pesat di Brasilia, Rusia, China dan India, yang penduduknya secara total mencapai 2,9 miliar orang atau hampir setengah dari jumlah penduduk dunia. Selain itu, ulah spekulan di pasar komoditas pertanian (termasuk beras) dan konversi biji-bijian ke biofuel juga sering disebut-sebut sebagai penyebab kurangnya stok pangan dipasar dunia untuk konsumsi akhir.
Inti dari masalah krisis pangan global saat ini memang karena terjadinya kelebihan permintaan, sementara itu pada waktu yang bersamaan, suplai atau stok di pasar dunia sangat terbatas atau cenderung menurun terus. Hasil kajian dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), atau yang umum dikenal sebagai klub-nya negara-negara industri maju, dan FAO (OECD & FAO, 2007), menunjukkan bahwa menurunnya suplai dan stok pangan dan dampak dari perubahan iklim global, di satu sisi, serta peningkatan yang sangat pesat di pasar dunia tidak hanya menaikan harga komoditas tetapi juga membuat perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian secara global.
Menurut Santosa (2008) dari berbagai sumber, stok beras dunia akan mencapai titik terendah tahun ini yang akan mendorong harga mencapai titik tertinggi selama 20 tahun terakhir, sedangkan persediaan gandum di pasar global akan mencapai titik terendah selama 50 tahun terakhir. Sementara, menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) (dikutip dari Reuters), jumlah lahan pertanian di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar dari 145,9 juta hektar (ha) pada periode 2003/04 (setelah menurun dari 151,7 juta ha pada 2001/02) ke 152,6 juta ha pada periode 2005/06, namun setelah itu laju kenaikannya sedikit melemah ke 153,7 juta ha pada 2007/08. Pola kenaikan produksi beras di dunia juga kurang lebih sama seperti pola penambahan lahan pertanian tersebut: 398,8 juta ton (2001/02), setelah itu turun sedikit ke 377,8 juta ton (2003/04), naik kembali ke 418,1 juta ton (2005/06), dan ke 421,2 juta ton (2007/08). Sedangkan jumlah stok akhir terus mengalami penurunan dari 147,3 juta ton pada periode 2001/02 ke 74,9 juta ton pada 2005/06 dan ke 74,1 juta ton 2007/08.
Masih menurut sumber yang sama, untuk proyeksi 2008, produsen beras terbesar di dunia adalah China, disusul kemudian oleh India dan Indonesia. Dilihat sepintas, rasanya ada suatu korelasi positif yang kuat antara jumlah penduduk dan jumlah produksi beras, ceteris paribus, yang lainnya tetap, misalnya lahan pertanian tidak berkurang akibat pertumbuhan populasi. Dasar teorinya sederhana. Dari sisi suplai, sesuai teori produksi, makin banyak jumlah penduduk, makin banyak jumlah tenaga kerja yang bisa mengerjakan pertanian. Sedangkan dari sisi permintaan, penduduk yang banyak berarti permintaan akan komoditas pertanian juga banyak yang menjadi suatu insentif bagi peningkatan produksi pertanian. Juga, permintaan yang besar memungkinkan tercapainya skala ekonomis di sektor pertanian.
Namun demikian, banyak faktor lain yang juga sangat menentukan besar kecilnya volume produksi beras di suatu negara. Dalam kata lain, Indonesia bisa menjadi produsen beras terbesar di dunia, walaupun jumlah penduduknya jauh dibawah China dan India, jika yang dimaksud dengan ’banyak faktor lain’-nya itu bisa ditangani dengan baik, atau mendukung pertumbuhan output pertanian (akan di bahas di bab III).
Tentu krisis pangan global tidak lain tidak bukan adalah gabungan dari krisis pangan dari sejumlah negara. Santosa (2008) menegaskan bahwa krisis pangan suatu bangsa ternyata bermuara pada situasi ”tidak berdaulat atas pangan”. Kedaulatan pangan merupakan hak setiap bangsa/masyarakat untuk menetapkan pangan bagi dirinya sendiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa menjadikannya subyek berbagai kekuatan pasar internasional. Menurutnya, terdapat 7 prinsip tentang kedaulatan pangan: (1) hak akses ke pangan; (2) reformasi agraria; (3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; (4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata; dan (7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Pada prinsipnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan, antara lain:
1) Produksi dalam negeri terbatas, sedangkan permintaan domestik tinggi (kelebihan permintaan di pasar domestik). Jadi impor hanya sebagai pelengkap. Hipotesisnya adalah: peningkatan produksi dalam negeri akan mengurangi impor. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut bisa karena dua hal, yakni (a) kapasitas produksi memang terbatas (titik optimum dalam skala ekonomis sudah tercapai), misalnya untuk kasus pertanian, lahan yang tersedia terbatas karena negaranya memang kecil; atau (b) pemakaian kapasitas terpasang masih dibawah 100 persen karena berbagai penyebab, bisa karena keterbatasan dana atau kurangnya tenaga kerja.
2) Impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri, yang dikarenakan berbagai faktor, seperti ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah dalam produksi dalam negeri, atau kualitas produk impor lebih baik dengan harga yang relatif sama. Hipotesisnya adalah: peningkatan impor akan mengurangi produksi dalam negeri.
3) Dilihat dari sisi neraca perdagangan (atau neraca pembayaran), impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri bisa untuk ekspor dengan asumís harga ekspor di pasar luar negeri lebih tinggi daripada harga impor yang harus dibayar. Ini berlaku bagi produk ‘diferensiasi’ seperti dalam kasus persaingan monopolistik. Misalnya, Indonesia lebih membutuhkan beras jenis ’x’, sementara produksi beras Indonesia kebanyakan dari jenis ’y’ yang banyak dibutuhkan di luar negeri. Disini hipotesisnya adalah: kenaikan impor tidak mengurangi produksi dalam negeri, tetapi meningkatkan ekspor; atau bahkan jika kapasitas produksi dalam negeri belum sepenuhnya terpakai, kenaikkan impor bisa berkorelasi positif dengan kenaikan produksi dalam negeri atau ekspor, dengan asumsi bahwa permintaan luar negeri terhadap produk dalam negeri meningkat.
Ketergantungan impor beras di Indonesia selama ini rasanya lebih dikarenakan produksi dalam negeri yang terbatas, atau yang jelas bukan karena motivasi keuntungan dalam perdagangan luar negeri. Hasil penelitian dari Simatupang dan Timmer (2008) menunjukkan bahwa hanya periode menjelang akhir dekade 70an hingga awal dekade 80an yang menunjukkan laju pertumbuhan produksi beras mengalami akselerasi yang pesat sekitar 7%, dan setelah itu hingga 1998 menurun dan selama 1998-2005 stabil sekitar 1.2%.
Berdasarkan analisanya terhadap data dari FAO (FAOSTAT), Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras.
Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor beras bervariasi menurut daerah, tergantung pada sejumlah faktor, diantaranya kemampuan daerah dalam produksi beras, jumlah penduduk, tingkat pendapatan per kapita masyarakat daerah, dan kelancaran distribusi. Variasi ketergantungan terhadap impor beras antar wilayah di Indonesia dapat dilihat dari data Bulog seperti di Tabel 2. Untuk periode 2006-2007, beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau sepenuhnya tergantung pada impor beras. Memang propinsi-propinsi tersebut adalah wilayah di Indonesia yang bukan merupakan pusat produksi beras. Sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara untuk periode tersebut sama sekali tidak mengimpor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 diperkirakan akan mencapai 1,3%, 2011-2015 sebesar 1,18%, dan 2025-2030 sebesar 0,82%. Atau, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton Pada tahun 2030, 2030 kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton (Prabowo, 2007a,b).
Untuk komoditas penting lainnya, misalnya, jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Menurut Prabowo (2007c), jagung boleh jadi salah satu komoditas pertanian yang paling ”rentan” saat ini. Dua puluh tahun lalu, jagung belum menjadi komoditas menarik. Konsumsi jagung di Indonesia maupun di dunia masih didominasi oleh kebutuhan pangan. Jagung juga termasuk komoditas pertanian yang mana Indonesia juga harus impor, dan harga impornya terus meningkat.
Memang sangat ironis melihat kenyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara besar agraris mengalami masalah ketahanan pangan. Untuk memahami kenapa demikian, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja faktor-faktor determinan utama ketahanan pangan. Menurut Yustika (2008), dalam kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan perkreditan. Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu kegiatan ekonomi di pedesaan. Menurutnya, ketiga pilar/kelembagaan tersebut (atau perubahannya) akan amat menentukan keputusan petani sehingga turut mempengaruhi derajat ketahanan pangan.
Pandangan di atas tidak salah, namun bisa dikembangkan, yakni bahwa ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh tiga pilar tersebut namun oleh sejumlah faktor berikut: (a) lahan (atau penguasaan tanah menurut Yustika di atas), (b) infrastruktur, (c) teknologi, keahlian dan wawasan, (d) energi, (e) dana (aspek perkreditan menurut Yustika), (f) lingkungan fisik/iklim, (g) relasi kerja (seperti Yustika), dan (h) ketersediaan input lainnya.
Keterbatasan lahan pertanian memang sudah merupakan salah satu persoalan serius dalam kaitannya dengan ketahanan pangan di Indonesia selama ini. Menurut staf khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Herman Siregar, lahan sawah terancam semakin cepat berkurang. Alasannya, pencetakan sawah baru menemui banyak kendala, termasuk biayanya yang mahal, sehingga tambahan lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan ketimbang luas areal yang terkonversi untuk keperluan non-pertanian. Ironisnya, laju konversi lahan pertanian tidak bisa dikurangi, bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan pesatnya urbanisasi (yang didorong oleh peningkatan pendapatan per kapita dan imigrasi dari perdesaan ke perkotaan), dan industrialisasi. Bahkan pernah dimuat di Kompas tahun lalu (Senin, 9 April 2007, hal.17), bahwa pemerintah daerah di sejumlah daerah tertentu telah mengajukan permohonan alih fungsi lahan sawah irigasi ke BPN seluas 3,099 juta ha, dan menurut penghitungan di Kompas tersebut hal ini bisa membuat 14,26 juta GKG atau 10 juta ton beras berpotensi hilang. Konversi lahan sawah secara besar-besaran ini sebagian telah disetujui oleh DPRD setempat dalam bentuk peraturan daerah. Hingga saat ini konversi lahan yang direncanakan itu terus dilakukan. Lahan seluas itu yang rata-rata berkualitas baik akan digunakan untuk pembangunan pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, industri, infrastruktur jalan, real estat, hingga bisnis lahan kuburan.
Ironisnya lagi, konversi lahan sawah ke non-sawah justru banyak terjadi di wilayah-wilayah yang sentra-sentra produksi pangan, seperti di Jawa Barat: Kerawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon; di Jawa Tengah: Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan; di Jawa Timur; Banten; DKI Jakarta; dan Bali. Umumnya lahan sawah yang dikonversi adalah yang berdekatan dengan jalan raya atau jalan tol. Di Kabupaten Badung, Bali, misalnya, pada tahun 2005, dari 10.121 ha sawah telah alih fungsi sebanyak 188 ha dan tahun 2008 dikonversi lagi sebanyak 18 ha. Di Kuta, konversi lahan terbesar terjadi tahun 1999, yakni awal dimulainya ekspansi industri jasa dan parawisata di wilayah tersebut. Saat ini tercatat 487 ha sawah yang beralih fungsi menjadi hotel, pemukiman, usaha pariwisata, dan jalan raya. Di seluruh Bali, alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan lain di luar sektor pertanian telah mencapai 700-100 ha. Di Kerawang, misalnya, sejak wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan industri pada era Soeharto, tercatat bahwa menjelang dekade 1980-an telah ada 511 perusahaan dengan total kawasan pabrik mencapai 5.393 ha. Di Jawa, alih fungsi sawah untuk perumahan telah mencapai 58,7% dan untuk industri, perkantoran, dan pertokon sekitar 21,8%, sedangkan di luar Jawa, hampir 49% konversi sawah untuk perkebunan, dan 16,1% untuk perumahan.
Menurutnya (BPN), secara nasional, tiap tahun terjadi konversi lahan sawah sebesar 100.000 ha (termasuk 35.000 ha lahan beririgasi). Sedangkan menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian (Deptan), Hilman Manan, 110.000 ha selama periode 1999-2002. Kalau memang demikian, berarti pada tahun 2030 Indonesia akan kehilangan 2,42 juta ha sawah (Prabowo, 2007). Khususnya konversi lahan sawah beririgasi mencapai 40.000 ha rata-rata per tahun, atau mencapai 423.857 selama periode tersebut. Menurut Kompas (16/10/2006), jumlah rumah tangga yang menjual lahan pertaniannya selama periode 1999-2003 mencapai 429.000. Sementara itu, tahun 2006 Deptan mencetak sawah baru sekitar 8.000 ha, dan mencapai 18.000 ha tahun 2007, dan untuk tahun 2008 ditargetkan 44.000 ha. Departemen Pekerjaan Umum sendiri pada dua tahun terakhir telah mencetak sawah baru sekitar 30.000 ha. Tetapi semua ini menjadi tidak berarti jika setiap tahun 110.000 ha lahan sawah hilang.
Selain di Jawa, alih fungsi lahan sawah juga terjadi di luar Jawa, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, dengan laju yang lebih pesat. Terutama Sumatera dan Sulawesi memang merupakan dua wilayah yang proses pembangunan atau industrialisasi dan urbanisasi paling pesat di antara wilayah-wilayah di luar Jawa, sedangkan di Kalimantan terutama juga karena kebutuhan lahan untuk perkebunan. Di Sumatera Selatan, misalnya, areal sawahnya saat ini tercatat 727.441 ha. Meski ada pencetakan sawah baru, luasnya hanya 4%-5% dari luas total per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan konversi sawah yang setiap tahunnya mencapai 8% per tahun.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa menurut BPS, pada tahun 2030 kebutuhan beras di Indonesia akan mencapai 59 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan ini, atau untuk memperkuat ketahanan pangan di Indonesia, menurut Prabowo (2007), ada sejumlah skenario, diantaranya adalah bahwa pemerintah harus menggenjot penambahan luas area panen dari yang sekarang sekitar 11,84 juta ha menjadi 22,95 juta ha, atau naik 11,11 juta ha dalam waktu 23 tahun. Ini berdasarkan asumsi rata-rata produktivitas padi tetap, yaitu 4,61 ton per ha. Hal ini memang tidak mudah, mengingat bahwa sekarang rasio jumlah penduduk dibandingkan luas lahan sawah sekitar 360 meter persegi per orang dan kecenderungannya terus menurun karena jumlah penduduk terus bertambah.
Malasah lahan pertanian akibat konversi yang tidak bisa dibendung menjadi tambah serius akibat distribusi lahan yang timpang. Ini ditambah lagi dengan pertumbuhan penduduk di perdesaan akan hanya menambah jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang sangat kecil yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal, akan semakin banyak. Lahan pertanian yang semakin terbatas juga akan menaikan harga jual atau sewa lahan, sehingga hanya sedikit petani yang mampu membeli atau menyewanya, dan akibatnya, kepincangan dalam distribusi lahan tambah besar. Studi dari McCulloh (2008) yang menggunakan data SUSENAS (2004), lebih dari 75 persen dari jumlah rumah tangga di Indonesia tidak menguasai lahan sawah.
Ketimpangan lebih nyata lagi jika dilihat hanya RT petani yang menguasai lahan. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) tahun 2003 (BPS), di Indonesia ada sekitar 13,7 juta rumah tangga (RT) petani yang masuk kategori petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,37 ha. Sedangkan, data Sensus Pertanian menunjukkan bahwa sekitar 75% dari jumlah RT petani secara individu menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, atau secara bersama hanya menguasai 38% dari semua lahan sawah, sementara itu, paling atas 9,3% dari jumlah RT petani (1,2 juta) menguasai secara individu diatas 1 ha, dan bersama mereka menguasai 72% dari semua lahan sawah di Indonesia.
Hal ini diperburuk lagi dengan tidak adanya usaha-usaha pencegahan dari pemerintah terhadap pembelian lahan milik petani-petani miskin seenaknya oleh orang-orang kaya atau perusahaan-perusahaan besar, yang sering kali dengan paksaan. Petani-petani yang sudah kehilangan tanahnya menjadi buruh-buruh tani bagi pemilik-pemilik baru tersebut (jika lahan tersebut tetap untuk pertanian).
Selain konversi lahan dan distribusinya yang pincang, tingginya laju degradasi lahan juga merupakan masalah serius. Hasil penghitungan dari Departemen Pertanian menunjukkan bahwa luas lahan kritis meningkat hingga 2,8 juta ha rata-rata per tahun (Prabowo, 2007). Menurut Prabowo (2007), semakin banyak lahan yang kritis, semakin berkurang suplai air irigasi. Hal ini disebabkan kerusakan fungsi daerah tangkapan air, untuk memberikan suplai air yang seimbang, baik pada musim kemarau maupun hujan. Saat ini, menurutnya, dari 62 waduk besar dan kecil di seluruh Jawa, hanya 3 yang volume airnya melebihi ambang batas.
Hal lainnya menyangkut lahan adalah mengenai kesuburan lahan. Prabowo (2007) melihat bahwa masalah kesuburan atau kejenuhan tingkat produktivitas lahan (levelling off) pertanian di Indonesia semakin serius. Ada suatu korelasi positif antara tingkat kesuburan lahan dan tingkat produktivitas pertanian. Data menunjukkan bahwa tingkat produktivitas atau pertumbuhannya terus menurun. Produksi beras nasional selama 1950-1959 rata-rata mencapai 3,7% per tahun, 1960-1969 4,6%, 1970-1979 3,6%, dan 1980-1990 mencapai rata-rata 4,3%. Selama tahun 1991-2000 pertumbuhannya tercatat hanya 1,4%, dan dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan rata-rata hanya 1,5%. Jadi, menurutnya, sejak tahun 1992 telah terjadi gejala levelling off produksi padi dengan kenaikan rata-rata produksi hanya 1,4%. ”Kondisi ini disebabkan terkurasnya tingkat kesuburan lahan”.
Khomsan (2008) dalam tulisannya di Kompas mengatakan bahwa lambannya pembangunan infrastruktur boleh jadi ikut berperan mengapa pertanian di Indonesia kurang kokoh dalam mendukung ketahanan pangan. Menurutnya, pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Ia mengatakan bahwa di Jepang, survei infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur di negara maju ini terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian, yang berarti juga tidak mengganggu atau mengganggu arus pendapatan ke petani.
Irigasi (termasuk waduk sebagai sumber air) merupakan bagian terpenting dari infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik, dalam pengertian tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan. Jaringan irigasi yang baik akan mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP) (Damardono dan Prabowo, 2008). Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, Hilman Manan (dikutip dari Damardono dan Prabowo, 2008), rata-rata IP lahan sawah di Indonesia hanya 1,57 kali, yang artinya, dalam satu tahun rata-rata lahan pertanian di Indonesia ditanami kurang dari 2 kali musim tanam. Di pulau Jawa, IP rata-rata di atas 2, tetapi di luar pulau Jawa umumnya 1 hingga 1,3 kali.
Dengan memakai data BPS dan FAO, hasil penelitian dari Fuglie (2004) memberikan suatu gambaran mengenai perkembangan irigasi pertanian di Indonesia selama periode 1961-2000. Sebelum revolusi hijau dimulai pada awal tahun 1970-an, lahan irigasi (teknis dan non-teknis) meningkat dengan rata-rata 1,4% setiap tahunnya dan selama revolusi hijau meningkat dengan lebih dari setengah ke 2,3% per tahun, tetapi setelah itu merosot secara signifikan ke 0,3% per tahun.
Namun demikian, dilihat dari perspektif komparatif, luas lahan irigasi teknis sebagai suatu persentase dari luas lahan pertanian di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan di negara-negara Asia lainnya tersebut, terkecuali dengan China yang kurang lebih sama sekitar 10% per tahunnya. Yang paling menonjol adalah Vietnam, yang memang sehabis perang tahun 1975 negara tersebut membangun sektor pertaniannya dengan sangat serius. Pada tahun 60an, rasionya tercatat antara 15% hingga 17% dan mengalami suatu peningkatan yang sempat mencapai lebih dari 40% pada pertengahan pertama dekade 90an dan setelah itu trennya cenderung menurun. Ekspansi lahan irigasi teknis di India dan Thailand juga menunjukkan pertumbuhan yang konsisten selama periode tersebut yang membuat perbedaannya dengan Indonesia cenderung membesar terus.
Sedangkan data dari Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa selama periode 1999-2005, peningkatan areal lahan sawah beririgasi di Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa hanya 0,47 juta ha dari 6,23 juta ha jadi 6,7 juta ha. Ini jauh lebih rendah dibandingkan India dengan 1,1 miliar orang dimana luas lahan irigasinya tumbuh 16 juta ha. dari 59 juta ha. ke 75 juta ha., dan lebih kecil lagi jika melihat China dengan 1,3 miliar orang yang penambahannya mencapai 40 juta ha.dari 54 juta ha. menjadi 94 juta ha. Perbedaan ini memberi suatu kesan bahwa jumlah penduduk yang besar tidak harus menjadi penghalang bagi pertumbuhan lahan pertanian; melainkan tergantung pada pola distribusi dari jumlah populasi antar wilayah dan perencanaan yang baik dalam mengalokasikan lahan yang ada menurut kegiatan ekonomi dan non-ekonomi sehingga tidak merugikan kegiatan pertanian.
Selanjutnya, di Tabel 8 dapat dilihat bahwa luas lahan irigasi teknis di Indonesia tidak merata. Paling luas terdapat di Pulau Jawa yang menurut data 2004 mencapai sekitar 1,5 ribu ha., atau lebih dari setengah dari luas lahan irigasi teknis di seluruh Indonesia pada tahun yang sama, dan paling kecil terdapat di Bali, NTT dan NTB yang hanya 84 ribu ha. lebih. Dilihat dari lahan dengan irigasi semi teknis, Pulau Jawa juga berada pada posisi teratas. Tidak meratanya distribusi dari proses modernisasi pertanian tersebut erat kaitannya dengan posisi dari Pulau Jawa yang memang sejak era kolonialisasi hingga sekarang sebagai pusat produksi padi di Indonesia, sedangkan pulau-pulau lainnya, secara sengaja atau tidak (proses alami), sebagai pusat-pusat perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan kopi, dan produksi non-padi, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
Menurut data terakhir dari pemerintah, luas lahan irigasi tahun 2007 mencapai 6,7 juta ha. Jumlah tersebut akan ditingkatkan menjadi 7,2 juta ha tahun 2009. Namun dari 6,7 juta ha tersebut, sebanyak 1,2 juta ha dalam kondisi rusak, meliputi rusak berat 240.000 ha serta rusak sedang dan ringan 960.000 ha. Penyebab utama kerusakan tersebut terutama karena kurangnya perawatan dan adanya bencana banjir dan tanah longsor (Wawa, 2007).
Teknologi dan sumber daya manusia (SDM), bukan hanya jumlah tetapi juga kualitas, sangat menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. Bahkan dapat dipastikan bahwa pemakaian teknologi dan input-input modern tidak akan menghasilkan output yang optimal apabila kualitas petani dalam arti pengetahuan atau wawasannya mengenai teknologi pertanian, pemasaran, standar kualitas, dll. rendah. Lagipula, teknologi dan SDM adalah dua faktor produksi yang sifatnya komplementer, dan ini berlaku di semua sektor, termasuk pertanian.
Seperti di banyak negara berkembang lainnya, di Indonesia kualitas SDM di pertanian sangat rendah jika dibandingkan di sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri manufaktur, keuangan, dan jasa. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari jumlah petani adalah dari kategori berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah dasar (SD). Rendahnya pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani Indonesia mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk menggunakan traktor dan mesin pertanian lainnya secara efisien. Seperti dalam kasus Malaysia yang dibahas sebelumnya di atas, petani-petani tradisional dengan pendidikan rendah akan cepat mengatakan bahwa memakai traktor terlalu sulit, dan oleh karena itu mereka akan cenderung tidak merubah cara kerja mereka dari tradisional ke modern.
Dalam sebuah diskusi panel Kompas-Oxfam ”Upaya Adaptasi di Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim”, seorang panelis mengatakan bahwa salah satu penyebab gagal panen adalah pengetahuan petani rendah mengenai bagaimana melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim atau tidak memiliki pemahaman cukup terhadap informasi prakiraan cuaca (selain itu, dari sisi lain, menurutnya, juga belum adanya sistem diseminasi informasi tersebut secara efektif ke petani sebagai pengguna). Misalnya salah satu langkah adaptasi yang perlu dilakukan oleh petani Indonesia adalah mengetahui, atau jika bisa mengembangkan sendiri, varietas bibit yang rendah emisi GRK atau yang mudah beradaptasi dengan iklim atau yang tahan kering.
Ada sejumlah indikator atau semacam proxy untuk mengukur tingkat penguasaan teknologi oleh petani. Salah satunya adalah pemakaian traktor. Sebenarnya, laju pertumbuhan pemakaian traktor untuk semua ukuran, baik yang dua maupun empat ban (diukur dalam tenaga kuda yang tersedia), di Indonesia pernah mengalami suatu peningkatan dari sekitar 7,5% per tahun sebelum era revolusi hijau (pra 1970-an) ke sekitar 14,3% per tahun selama pelaksanaan strategi tersebut. Namun demikian, pemakaian input ini per hektarnya di Indonesia tetap kecil dibandingkan di negara-negara Asia lainnya tersebut; terkecuali China yang kurang lebih sama seperti Indonesia. Hal ini bisa memberi kesan bahwa tingkat mekanisasi dari pertanian Indonesia masih relatif rendah, walaupun pemerintah telah berupaya meningkatkannya selama revolusi hijau. Pemakaian traktor yang tumbuh sangat pesat adalah Vietnam yang laju pertumbuhannya mengalami suatu akselerasi tinggi menjelang pertengahan dekade 90an. Pemerintah sangat menyadari bahwa salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan produktivitas pertanian adalah lewat peningkatan mekanisasi dalam proses produksi dan salah satunya dengan menggantikan tenaga binatang dengan traktor. Di sektor pertanian di India dan Thailand, traktorisasi juga sangat konsisten dengan perluasan lahan irigasi teknis.
Relatif rendahnya jumlah traktor per ha di Indonesia memang memunculkan pertanyaan-pertanyaan seputar penyebab-penyebab utamanya. Sayangnya, sulit sekali menemukan studi-studi kasus yang meneliti persoalan ini (jika tidak bisa dikatakan studi-studi seperti itu tidak ada sama sekali). Namun demikian, kemungkinan bisa disebabkan selain oleh biaya pemakaian dan pemeliharaannya yang mahal (seperti biaya penggantian onderdil dan bahan bakar), lahan yang dikerjakan/dikuasai kecil yang membuat traktorisasi menjadi tidak efisien, dan hambatan budaya, juga oleh pendidikan petani yang masih rendah. Terutama wawasan petani yang sangat kurang mengenai manfaat dari merubah pola bertani dari sistem tradisional ke sistem modern antara lain dengan menggunakan traktor memperkuat keengganan banyak petani untuk mensubstitusi binatang hidup dengan traktor.
Hal yang sama juga terjadi, misalnya, di Malaysia. Negara ini juga mencanangkan revolusi hijau dengan tujuan yang sama. Seperti di Indonesia, revolusi hijau di Malaysia juga ditandai dengan pembangunan proyek-proyek irigasi besar. Namun ternyata kurang efektif. Seperti yang dikutip dari Sindhunata (2006), Abdul Razak bin Senawi, pegawai tadbir dari MADA (Muda Agricultural Development Authority) mengatakan sebagai berikut: …pada waktu merencana, kami hanya berpikir soal infrastruktur fisik saja. Kami khilaf, kejayaan proyek ini seluruhnya akhirnya tergantung pada sisi penerima. 60.000 petani yang menghuni kawasan Jelapang Padi inilah yang sebenarnya pokok kejayaan atau kegagalan proyek. Selanjutnya, Sindhunata berkomentar, sebuah soal klasik yang umum terjadi muncul lagi. Datanglah mesin modern, bangunlah proyek irigasi raksasa, tetapi kalau hati petani tidak tergerak oleh maksud baik itu, hasilnya ya sama saja dengan dulu. Sindhutana meneliti dampak dari revolusi hijau di daerah Jelapang di Malaysia. Petani padi di daerah tersebut adalah petani tradisional, termasuk dalam berpikir dan cara mengolah tanah, seperti pada umumnya petani di Malaysia (dan juga seperti kebanyakan petani di Indonesia). Petani itu sudah puas bila kebutuhan rumah tangganya terjamin, mereka tak begitu berhasrat untuk memperoleh lebih banyak keuntungan. Seorang petani yang diwawancarain oleh Sindhutana mengatakan sebagai berikut, kami tak mau menggunakan jentara (mesin) modern. Susah belajarnya, dan paling-paling hasilnya sama saja. Jadi, pemikiran dan cara kerja mereka yang sangat sederhana.itu bisa menjadi penghalang utama keberhasilan dari revolusi hijau.
Maka dapat dikatakan (sebagai suatu hipotesa) bahwa semakin berpendidikan petani-petani di suatu wilayah semakin banyak penggunaan traktor (dan alat-alat pertanian modern lainnya) di wilayah tersebut, ceteris paribus, faktor-faktor lainnya mendukung. Dalam kata lain, tingkat pengetahuan petani, selain faktor-faktor lain seperti ketersedian dana, merupakan suatu pendorong penting bagi kelancaran atau keberhasilan dari proses modernisasi pertanian. Kerangka pemikiran ini konsisten dengan penemuan-penemuan empiris dari banyak studi di sejumlah negara berkembang lainnya yang menunjukkan bahwa asset-aset petani seperti traktor dan alat-alat bertani modern lainnya lebih umum ditemukan di kelompok petani skala besar, kaya, dan berpendidikan tinggi daripada di kelompok petani marjinal/gurem, miskin dan berpendidikan rendah.
Energi
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung dan tidak langsung. Jalur langsung adalah energi seperti listrik atau BBM yang digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya, misalnya dalam menggunakan traktor. Sedangkan tidak langsung adalah energi yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang membuat input-input lainnya dan alat-alat transportasi dan komunikasi. Yang sering diberitakan di media masa mengenai pasokan energi yang tidak cukup atau terganggu yang mengakibatkan kerugian bagi petani sejak reformasi adalah, misalnya, gangguan pasokan gas ke pabrik-pabrik pupuk, atau harga gas naik yang pada akhirnya membuat harga jual pupuk juga naik. Selain itu, kenaikan harga BBM selama sejak dimulainya era reformasi membuat biaya transportasi naik yang tentu sangat memukul petani, yang tercerminkan dalam menurunnya nilai tukar petani (NTP).
Dana
Penyebab lainnya yang membuat rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia adalah keterbatasan dana. Diantara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit mendapat kredit dari perbankan (dan juga dana investasi) di Indonesia. Berdasarkan SP 2003, tercatat hanya sekitar 3,06% dari jumlah petani yang pernah mendapatkan kredit bank, sedangkan sisanya membiayai kegiatan bertani dengan menggunakan uang sendiri.
Pada tingkat makro, lintas sektoral, dengan sangat jelas menunjukkan bahwa pertanian bukan merupakan sektor besar dalam penerimaan kredit. Ada dua alasan utama kenapa selama ini perbankan enggan memberikan kredit kepada petani, terutama petani-petani makanan pokok seperti padi/beras. Alasan pertama adalah karena pertanian padi bukan merupakan suatu bisnis yang menghasilkan keuntungan besar, dan ini berarti bukan jaminan bagi perbankan bahwa pinjamannya bisa dikembalikan. Sedangkan alasan kedua adalah tidak adanya aset yang bisa digunakan sebagai agunan seperti rumah atau tanah. Pada umumnya petani di Indonesia, berbeda dengan rekannya di negara-negara kaya seperti AS, Kanada, Australia dll., tidak memiliki rumah yang mempunyai nilai komersial dari sudut pandang perbankan dan tidak memiliki sertifikat tanah.
Lingkungan Fisik/Iklim
Tidak diragukan bahwa pemanasan global turut berperan dalam menyebabkan krisis pangan, termasuk di Indonesia. Pertanian, terutama pertanian pangan, merupakan sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, mengingat pertanian pangan di Indonesia masih sangat mengandalkan pada pertanian sawah yang berarti sangat memerlukan air yang tidak sedikit (Samhadi, 2007).
Secara per kapita, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia memang masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan China dan India, apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Jepang, Namun, secara nasional, Indonesia berada di urutan ketiga negara paling polutif di dunia, setelah AS dan China. Menurut berita di Kompas, sekitar 85% emisi tahunan GRK Indonesia berasal dari sektor kehutanan, terutama akibat penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, dan kebakaran hutan.
Karena Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia sangat dirugikan dengan pemanasan global. Selain kemarau berkepanjangan, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, naiknya risiko banjir akibat curah hujan yang tinggi, dan hancurnya keanekaragaman hayati mengakibatkan beberapa pulau kecil dan kawasan pantai yang produktif terancam tenggelam.
Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam (Samhadi, 2007). Hal ini sudah beberapa kali dialami oleh Indonesia dengan El Nino dan La Nina. El Nino selama periode 1997-1998 mengganggu secara serius panen di berbagai wilayah di tanah air, dan menurut Samhadi (2007), ini adalah yang terburuk dalam setengah abad terakhir. Bencana ini melanda Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan Indonesia bagian timar. Daerah-daerah ini mengalami kekeringan yang sangat parah di luar musim kemarau. Musim hujan mundur dari September menjadi November. Tanah di banyak tempat di wilayah-wilayah yang terkena dampak El Nino tersebut banyak yang retak-retak seperti umum dijumpai di wilayah sangat kering di Afrika Sub-Sahara.
Menurut hasil penelitian Samhadi (2007), kekeringan di wilayah-wilayah tersebut berdampak pada 426.000 hektar tanaman padi dan mengakibatkan gagal panen di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Timar, dan sejumlah wilayah lumbung padi lainnya. Selain padi, kekeringan tersebut juga berpengaruh negatif terhadap tanaman-tanaman lainnya seperti kopi, coklat, dan karet di berbagai daerah.
Samhadi mengutip sebuah laporan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) yang mengatakan bahwa sebagai akibat dari perubahan iklim curah hujan akan meningkat sebesar 2%-3% per tahun dan musim hujan akan lebih singkat, dan kedua perubahan ini akan menambah risiko banjir. Tambahan curah hujan ini ada positifnya, tetapi juga ada negatifnya. Positifnya, pasokan air irigási tentu akan bertambah. Negatifnya, aliran air yang sangat deras juga bisa mengurangi masa guna reservoir dan saluran irigási, dan mempercepat proses erosi tanah. Sebagai akibatnya, kesuburan dan productivitas tanah, terutama di daratan tinggi, juga akan turun, persis seperti akibat kekeringan yang berkepanjangan. Penurunan tingkat kesuburan tanah ini akan mengurangi hasil panen tanaman di dataran tinggi.
Mahalnya pengairan karena iklim bisa dilihat dari kutipan berikut ini: saya harus bayar air Rp 170.000 per tiga bulan untuk mengairi sawah. Biaya untuk air sama saja menambah utang. Sebab, petani kecil seperti saya harus mengutang sebelum menanam padi”, kata Maryono (50-an). Sawahnya hanya terletak 10 meter dari tepi Sungai Bengawan Solo, tetapi harus berjuang untuk memperoleh air (Damardono dan Prabowo, 2008). Menurut tulisan mereka itu, untuk mendapatkan air, Maryono dan warga Desa Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, masih harus mengoperasikan pompa-pompa dengan bahan bakar solar, yang sudah relatif tua sehingga sering kali mati. Alasan mereka memakai pompa, karena pintu air di Desa mereka tidak dapat berfungsi untuk mengalirkan air ke sawah karena elevasi air di Bengawan Solo lebih rendah daripada ketinggian lahan sawah mereka akibat musim kering yang panjang. Namun, bila elevasi air meninggi karena hujan di hulu, pintu air tersebut juga tidak bisa dibuka begitu saja karena air akan membanjiri sawah. Jadi, pintu air tersebut tidak dapat digunakan semaksimal mungkin.
Menurut salah satu berita di Kompas, luas tanaman padi yang kebanjiran sampai akhir Desember 2007 akibat La Nina sudah mencapai 83,8% atau seluas 56.034 ha dibandingkan total luas tanaman padi yang kekeringan (El Nino) pada musim tanam 2006-2007 seluas 66.900 ha. Sementara dibandingkan luas banjir rata-rata lima tahunan seluas 69.300 ha sudah mencapai 80,9%.
Selain masalah-masalah tersebut di atas, Samhadi (2007) juga menegaskan bahwa pemanasan global akan menaikan permukaan air laut, yang dengan sendirinya akan menenggelamkan daerah pesisir yang produktif dan berdampak pada penciutan lahan pertanian subur di sepanjang pantai, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lain, terutama Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan. Bahkan diperkirakan bahwa di daerah-daerah seperti Kerawang dan Subang, yang hingga saat ini masih merupakan salah satu gudang beras Indonesia, akan terjadi penurunan pasokan beras lokal hingga 95%. Tidak hanya padi/beras, juga lainnya seperti jagung diperkirakan akan turun 10.000 ton (setengahnya akibat naiknya permukaan air laut), dan produksi ikan dan udang juga akan berkurang sebanyak 7.000 ton di Kerawang dan 4.000 ton di Subang.
Selain itu, masih menurut studi dari Bank Dunia tersebut, kenaikan permukaan air laut akan menaikan sungai Citarum, yang selanjutnya akan menenggelamkan sekitar 260.000 ha kolam dan 10.000 ha lahan pertanian disekitar bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Ini akan menurunkan produksi ikan dan udang hingga 15.000 ton dan sekitar 940.000 produksi padi.
Selain studi Bank Dunia tersebut, lainnya, seperti Sutardi (2006)30juga.membuat perkiraan dampak kekeringan terhadap produktivitas pertanian. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 11, total penurunan produktivitas pada dekade 1990-an sekitar 556.130 ha dan meningkat menjadi hampir 875 ribu ha pada dekade 2000-an.
Relasi Kerja
Seperti yang diungkapkan oleh Yustika (2008) di atas tersebut bahwa relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Dalam kata lain, pola relasi kerja yang ada di sektor pertanian akan sangat menentukan apakah petani akan menikmati hasil pertaniannya atau tidak. Untuk mengidentifikasi bagaimana pola relasi kerja yang berlaku selama ini di Indonesia bisa dilakukan dengan memakai beberapa indikator, diantaranya nilai tukar petani (NTP).
Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berbeda. Sebagai contoh sederhana, misalnya ada dua jenis barang: A dan B dengan harga masing-masing PA = 10 dan PB = 20. Maka nilai tukar barang A terhadap barang B adalah rasio (PA/PB) x 100% = 1/2. Rasio ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1/2 unit B harus ditukar dengan 1 unit A (atau 1 unit B ditukar dengan 2 unit A). Rasio ini dapat juga diartikan sebagai berikut. Di dalam suatu ekonomi dengan sumber daya alam (SDA), SDM, teknologi, enerji dan input-input produksi lainnya yang ada tetap tidak berubah, biaya alternatif dari membuat 1/2 unit B adalah harus mengorbankan (tidak membuat) 1 unit A. Semakin kuat posisi tawar barang A (misalnya PA naik dengan laju lebih tinggi daripada kenaikan PB), semakin tinggi nilai rasio tersebut, dan sebaliknya semakin rendah.
Di dalam literatur perdagangan internasional, pertukaran dua barang yang berbeda di pasar dalam negeri dalam nilai mata uang nasional disebut dasar tukar dalam negeri, sedangkan di pasar internasional dalam nilai mata uang internasional (misalnya dollar AS) disebut dasar tukar internasional atau umum dikenal dengan terms of trade (ToT). Jadi, ToT adalah harga relatif ekspor terhadap harga impor, atau rasio antara indeks harga ekspor terhadap indeks harga impor. Sedangkan, pengertian NTP sedikit berbeda dengan ToT di atas. NTP hanya menunjukkan perbedaan antara harga output pertanian dengan harga input pertanian, bukan harga barang-barang lain seperti pakaian, sepatu, dan makanan. Atau, lebih jelasnya, NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP. Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor, dan lainnya. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat kesejahteraan petani terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang berhubungan dengan pasar input, yang untuk input-input tertentu namun sangat krusial seperti pupuk petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.
Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan oleh Subandriyo (2006) sebagai berikut: Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur non-usaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna. Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas……… Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani.
Perkembangan NTP rata-rata di masing-masing, empat (4) propinsi di Jawa dan 10 propinsi di luar Jawa untuk periode 1988-2003 dapat dilihat bahwa perkembangan NTP berbeda menurut propinsi karena adanya perbedaan inflasi (laju pertumbuhan indeks harga konsumen), sistem distribusi pupuk dan input-input pertanian lainnya dan juga perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas-komoditas pertanian. Ekuilibrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut. Dari sisi penawaran, faktor penentu adalah terutama volume atau kapasitas produksi di sektor pertanian (ditambah dengan impor kalau ada), sedangkan dari sisi permintaan adalah terutama jumlah penduduk (serta komposisinya menurut umur dan jenis kelamin) dan tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita.
Secara teoritis, dapat diduga bahwa di pusat-pusat produksi beras, misalnya Krawang (Jawa Barat), pada saat musim panen pasar beras di wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan stok beras, sehingga harga beras per kilo di pasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya, pasar beras di wilayah bukan pusat produksi beras, misalnya Kalimantan, cenderung mengalami kekurangan, sehingga harga beras per kilo di pasar setempat naik. Tetapi, ini bukan berarti bahwa NTP di Krawang selalu harus lebih rendah daripada di Kalimantan. Rendah tingginya NTP juga ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian di masing-masing wilayah. Bisa saja, misalnya harga beras di Kalimantan tinggi karena persediaan terbatas namun harga pupuk di sana juga tinggi karena kekurangan stok akibat produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi, sehingga NTP di wilayah tersebut rendah.
Dengan NTP yang terus merosot, tidak heran kalau potret pertanian di Indonesia adalah gambar kemiskinan yang dialami para petani. Bagaimana bisa mengharapkan seorang petani mau tetap bertani atau mau meningkatkan produksinya jika usaha tersebut tidak pernah menambah kesejahteraannya? Oleh karena itu, dapat dibuat suatu hipotesis sebagai berikut: ada suatu korelasi negatif antara tingkat kemiskinan di sektor pertanian dan derajat ketahanan pangan.
Ketersedian Input Lainnya
Terutama keterbatasan pupuk dan harganya yang meningkat terus merupakan hambatan serius bagi pertumbuhan pertanian di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini dilihat dari ketersediaan input lainnya. Walaupun niatnya jelas, namun dalam implementasi di lapangan, pemerintah selama ini kelihatan kurang konsisten dalam usahanya memenuhi pupuk bersubsidi untuk petani agar ketahanan pangan tidak terganggu. Tanpa ketersediaan sarana produksi pertanian, termasuk pupuk dalam jumlah memadai dan dengan kualitas baik dan relatif murah, sulit diharapkan petani, yang pada umumnya miskin, akan mampu meningkatkan produksi komoditas pertanian.
Sebenarnya, tingkat pemakaian pupuk non-organik (diukur dalam kg) di pertanian Indonesia sangat tinggi dibandingkan, misalnya, dengan di negara-negara Asia lainnya itu. Dalam 10 hingga 20 tahun, laju pertumbuhannya rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1,7% dalam dekade 1960an ke 16% selama periode 1970an-1980an, yang membuat pemakaian pupuk modern ini per hektar juga mengalami suatu peningkatan dari sekitar 1,3% ke 13,6% rata-rata per tahun selama periode yang sama.. Tetapi, sejak pertengahan.90an praktis tidak ada pertumbuhan, dan bahkan pemakaiannya per hektar menurun; walaupun sejak permulaan tahun 2000an cenderung meningkat kembali.
Penurunan tersebut sebagian dikarenakan biaya pembelian pupuk meningkat sehubungan dengan menurunnya subsidi pupuk dari pemerintah dan kelangkaan pupuk yang sering terjadi sejak krisis ekonomi 1997/98. Dikurangi atau dihapuskannya subsidi pupuk tentu berdampak langsung pada kenaikan biaya produksi padi, karena pupuk termasuk salah satu komponen utamanya.
Banyak sekali kasus-kasus kelangkahan pupuk yang sering diberitakan di media-media masa dalam beberapa tahun belakangan ini sejak mulainya era reformasi. Misalnya, kasus petani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompas memberitakan bahwa pada tahun 2008 total pupuk bersubsidi yang disalurkan ke DI ini mencapai 134.443 ton, sementara kebutuhannya sebanyak 926.546 ton. Berdasarkan jumlah itu, hanya 14,5 persen kebutuhan yang terpenuhi.
Menurut PT Pusri, harga bahan baku pupuk, seperti fostat, sulfur, dan potas, naik tajam. Kenaikan harga bahan baku pupuk non-urea itu berdampak pada peningkatan biaya produksi pupuk, yang berarti harga jual dengan sendirinya akan naik. Harga pupuk di pasar tinggi sedangkan harga GKG rendah atau cenderung menurun akan mengurangi insentif bagi petani untuk meningkatkan atau bahkan meneruskan produksi.
Banyak pengamat menyimpulkan bahwa salah satu penyebab sulitnya petani mendapatkan pupuk karena masalah distributi. Beberapa kali Kompas memberitakan masalah ini. Misalnya, di Banyumas petani sangat sulit mendapatkan pupuk urea dan SP-36 yang diduga karena belum jelasnya peta distribusi pupuk yang benar-benar sampai kepada petani, sehingga tidak ada stok di pasar eceran. Hal ini menyebabkan harga per zak pupuk urea isi 50 kg melampaui harga eceran tertinggi, yakni mencapai Rp 80.000-Rp 90.000.
Juga masalah birokrasi sering sebagai penyebab kelangkahan pupuk di pasar eceran pada saat petani sangat membutuhkan. Misalnya, Kompas memberitakan bahwa petani di banyak daerah hingga saat ini sangat sulit mendapatkan pupuk SP-36. Sementara itu, bagian pemasaran dari PT Petrokimia Gresik menyatakan bahwa sebenarnya sudah disediakan cadangan SP-36 hingga 450 ton. Namun, cadangan itu belum dapat didistribusikan karena masih menunggu surat dari Bea dan Cukai, karena pupuk itu adalah pupuk impor.
Di atas telah dibahas bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam ketahanan pangan adalah lahan, infrastruktur, teknologi dan SDM, energi, dana, lingkungan fisik/iklim, relasi kerja dan ketersediaan input lainnya. Maka jelas fokus dari solusi haruslah pada aspek-aspek tersebut, dengan langkah-langkah yang konkrit, diantaranya:
1) lahan: undang-undang Agraria yang ada (yang dikeluarkan pada awal tahun 1960an), setelah direvisi sesuai perkembangan sejak 1960-an hingga saat ini, harus dijalankan dengan tegas; proses sertifikasi lahan pertanian harus dipercepat atau dipermudah; rencana tata ruang harus melindungi lahan pertanian yang produktif dan subur; dan pembelian lahan petani secara ”paksa” atau untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya tidak terlalu perlu (seperti lapangan golf, apartemen mahal, pertokoan mewah) harus dihentikan.
2) Infrastruktur: pembangunan infrastruktur di perdesaan diseluruh pelosok tanah air harus lebih digiatkan, terutama di daerah-daerah sentra pertanian, termasuk irigasi dan waduk ditambah dan yang rusak segera diperbaiki.
3) Teknologi dan SDM: petani harus diberdayakan lewat pelatihan, penyuluhan, dan bantuan teknis secara intensif. Disini, peran perguruan tinggi dan lembaga litbang (R&D) setempat sangat krusial.
4) Energi: dalam melaksanakan kebijakan kenaikan harga energi/pemotongan subsidi energi akibat harga BBM yang terus naik, subsidi energi terhadap petani dan sektor-sektor yang mendukung pertanian seperti pabrik pupuk dan transportasi harus dipertahankan atau diadakan. Ini bisa dalam bentuk antara lain harga energi yang murah bagi petani atau dana khusus yang diberikan langsung ke petani.
5) Dana: perbankan perlu diberikan semacam insentif untuk memperluas akses petani ke kredit perbankan, atau dengan cara pengadaan dana khusus.
6) Lingkungan fisik/iklim: usaha-usaha mengurangi pemanasan global harus sudah merupakan salah satu prioritas pembangunan jangka panjang ekonomi pada umumnya dan sektor pertanian pada khususnya. Disini termasuk penggundulan hutan, pencemaran air sungai dan laut, pembangunan perumahan di tanah-tanah resapan air harus dihentikan.
7) Relasi kerja: kebijakan penetapan harga pertanian, sistem perpajakan, dan lainnya harus menciptakan fair market yang juga menguntungkan petani
8) Ketersediaan input lainnya: kelangkahan pupuk yang disebabkan oleh praktek-praketk penimbunan atau kemacetan produksi harus dicegah untuk tidak terulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, R, dan R. López. 1987. “Tax Policies and the Financially Constrained Farm Households”, American Journal of Agricultural Economics, 69(2).
Damardono, Haryo dan Hermas E. Prabowo. 2008. “Irigási Sempurna, Swasembada Pangan Tercapai”, Kompas, Bisnis & Keuangan, 12 Maret.
Dawe, David. 2008. “Can Indonesia trust the world rice market?”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 115-132.
Feder, G. dan D. Feeney. 1991. “Land Tenure and Property Rights: Theory and Implications for Development Policy”, The World Bank Economic Review, 5(1): 135-153.
Fuglie, Keith O. 2004. “Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2): 209-25.
Khomsan, Ali. 2008. ”Rawan Pangan, Rawan Gizi”, Kompas, Opini, Rabu, 16 Januari.
López, Ramón, John Nash dan Julie Stanton. 1995. “Adjustment and Poverty in Mexican Agriculture“, Policy Research Working Paper No. 1494, August, International Economics Department, Washington, D.C.: The World Bank.
Marta, M. Fajar. 2007. ”Perekonomian mengharap dana segar kredit”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Jumat, 12 Januari.
McCulloch, Neil. 2008. “Rice Prices and Poverty in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44 (1): 45-63.
OECD & FAO. 2007.”OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016”, October, Paris/Roma: Sekretariat Organisation for Economic Cooperation and Development/Food and Agricultural Organisation.
Prabowo, Hermas E. 2007. ”Upaya Melepaskan Dependensi Beras”, Kompas, Bisnis dan Keuangan, Jumat, 25 Mei.
Prabowo, Hermas E. 2007. “Ketahanan Pangan. Pertarungan Energi dengan Pangan”, Kompas, Teropong, Kamis, 8 November.
Prabowo, Hermas E. 2007. ”Tanaman Pangan. Jagung. Sebuah Contoh Keruwetan”, Kompas, Kamis, 8 November.
Rosner, L. Peter dan Neil McCulloch. 2008. ”A note on rice production, consumption and import data in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44 (1): 81-92.
Samhadi, Sri Hartati. 2007. ”Perubahan Iklim. Ketahanan Pangan Terancam”, Kompas, Fokus Pemanasan Global, Sabtu, 1 Desember.
Santosa, Dwi Andreas. 2008. ”Krisis Pangan 2008”, Kompas, Opini, 15 Maret.
Simatupang, Pantjar dan C. Peter Timmer. 2008. ”Indonesian Rice Production: Policies and Realities”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1): 65-79.
Sindhunata. 2006. Dari Pulau Buru ke Venezia, Jakarta: Penerbit Buku kompas.
Subandriyo, Toto. 2006. ”Saatnya Berpihak kepada Petani’, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret.
Tambunan, Tulus Tahi Hamongan. 2007. ”Role of Agriculture in Poverty Reduction. Some Evidence from Indonesia”, The Indian Economic Journal, 55(2), Juni-Juli.
Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan. 2008. Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada (akan terbit).
Wawa, Jannes Eudes. 2007. “Krisis Air Hadang Petani”, Kompas, Fokus Beras, Sabtu, 24 Februari.
Yustika, Ahmad Erani. 2008. ”Masalah Ketahanan Pangan”, Kompas, Opini, Rabu, 16 Januari.
Tinggalkan Balasan