YOGYAKARTA – Aksi massa mahasiswa dan elemen masyarakat beberapa waktu yang lalu cukup masif di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya di Yogyakarta dengan aksi #GejayanMemanggil. Kendati berlangsung damai, namun aksi massa yang sudah berlangsung tiga jilid dengan mengatasnamakan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) tersebut, dinilai masih mengandung kelemahan.
Hal itu diungkapkan Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk; ‘Revolusi Milenial! HAM, Demokrasi dan Pembangunan Dimasa Reformasi Lanjut’ yang diselenggarakan Youth Institute for Social Action (YISA) dan Lingkar Akademisi Reformis Indonesia (LARI) di University Club UGM, Rabu (06/11/2019) malam.
Arie mengungkapkan, aksi massa seperti #GejayanMemanggil harus dilihat secara objektif, agar esensinya tidak mengalami distorsi atau bahkan terjebak dalam ‘festival politik’. Menurutnya, kalau aksi massa bertujuan mempengaruhi dan mendorong agar demokrasi lebih baik, maka menjadi relevan. Namun, kata dia, jika tidak jelas arahnya, maka menjadi tidak produktif,
“Mobilisasi massa oke, demonstrasi oke, tetapi jebakan terhadap praktik dan tindak kekerasan harus dicegah. Oleh karena itu kesadaran datang sebagai subjek itu harus ada dalam setiap aksi sosial, siapapun yang melakukan. Saya rasa tantangannya itu memang tidak hanya semacam apa gerakan kita? Tetapi tantangannya apa yang akan you jawab buat realitas yang berkembang,” ujarnya.
Arie menjelaskan, ketidakjelasan arah aksi demonstrasi adalah ketika massa yang bergerak tidak benar-benar memahami apa tujuan aksi dan belum melakukan kajian mendalam terkait tuntutan-tuntutan yang akan disampaikan,
“Saya kira setiap aksi itu harus lahir dari proses dorongan mereka untuk tujuan apa sebuah aksi. Biasa dalam sejarahnya itu harus ada dukungan, harus kita apresiasi. Tapi pada saat yang sama, pada saat aksi selesai harus ada kritik otokritik supaya apakah aksi ini akan menjawab sesuai harapan atau tidak? supaya terus berbenah,” ujarnya.
“Saya katakan ia (Aksi #GejayanMemanggil) punya kelemahan tapi saya apresiasi dalam arti sensifitas politiknya ada, tapi menjadi tidak jelas tujuanya untuk sekadar aksi, atau untuk perubahan atau untuk apa? Karena itu spektrumnya luas, siapapun bisa bergabung waktu itu dengan tuntutan yang beragam. Saya rasa itu poinnya,” tandas Arie.
Arie juga menganggap aksi-aksi seperti #GejayanMemanggil yang ingin mencotoh semangat aksi reformasi 1998, kurang tepat,
“Revolusi Milinial harus dibaca bahwa kebangkitan baru anak-anak muda dengan generasi yang berbeda dengan sejarahnya yang sebelumnya, tantangannya juga berbeda,” tukasnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, salah satu aktivis mahasiswa yang turut dalam #GejayanMemanggil, Gendis Syari Widodari mengungkapkan, aksi #GejayanMemanggil menurutnya merupakan upaya untuk menciptakan kesamaan gerak atas banyaknya tuntutan masyarakat atas kebijakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
“Isu makin sektoral butuh payung bersama. #GejayanMemanggil itu kemudian memayungi beragam isu sektoral. Itu upaya membentuk cammon ground (kesamaan isu) diantara isu sektoral untuk membentuk isu gerakan substantif,” ujar Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM angkatn 2016 ini.
Namun demikian Gendis sepakat dengan Arie Sudjito bahwa aksi massa tidak menjadi ‘karnaval politik’. Menurutnya, gerakan itu hadir memang perlu melihat konteks. Dalam mengkritisi kebijakan publik, massa aksi perlu memiliki tingkat pemahaman yang lebih atas isu yang akan diusung dalam aksi.
Terkait partisipasi massa aksi ARB yang menurun dari #GejayanMemanggil jilid pertama pada Senin 23 September 2019, kemudian jilid II pada Senin 30 September 2019, hingga terakhir pada Senin 28 Oktober 2019 yang lalu yang berpusat di Tugu Pal Putih (Tugu Jogja), Gendis menilai itu bagian dari dinamika pasang surut gerakan. Namun untuk merumuskan langkah-langkah lain atau alternatif untuk membentuk koridor perlawanan yang lebih beragam, kata Gendis, menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama.
Gandis percaya bahwa ada banyak koridor dalam mengartikulasikan keresahan publik,
“Ketika menempatkan aksi massa sebagai satu satunya jalur kupikir itu juga enggak terlalu produktif untuk gerakan masyarakat sipil ketika ingin menyampaikan tuntutan. Kita bisa mengisi ruang publik dengan diskursus dengan masyarakat, bisa juga ikut tim, JR (Judicial Review) atau perumus advokasi alternatif, seperti apa kebijakan alternatif yang diinginkan itu kan bisa jadi penyeimbang narasi sentral negara saat ini,” tutupnya.
Ketua Panitia Diskusi Revolusi Milenial, Lilik Krismantoro Putro mengatakan latar belakang digelarnya diskusi adalah adanya gerakan massa milenial yang selama ini dianggap kurang kritis dan sibuk dengan Media Sosial (Medsos). Meski mengapresiasi, Lilik menilai ada keterputusan pandangan antara generasi milenial dengan generasi sebelumnya, yaitu yang terdekat adalah generasi aktivis reformasi ’98,
“Diskusi ini sebenarnya pengin membangun sebuah jembatan epistemik, jembatan kesadaran, jembatan kognitif yang memberi pijakan bagaimana teman-teman muda dan teman-teman angkatan sebelumnya kemudian membangun ruang fundamen bersama,” ungkapnya.
Ia berharap generasi milenial yang sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap bangsa dan negara agar lebih produktif dan aksi-aksinya tidak sekadar aksi massa karena tergerak Medsos, melainkan melakukan kajian yang mendalam untuk mengkritisi kebijakan pemerintah,
“Aksi hanya salah satu tools (alat). Jadi kalau kita bicara perubahan sosial, maka sebenarnya tools-nya banyak, kita bisa loby, kita bisa memberikan masukan kepada pemerintah, kita bisa menulis paper ilmiah, kita bisa memberi naskah akademik. Ada banyak cara untuk membuat perubahan,” pungkas Lilik yang juga Koordinator YISA dan presidium LARI.
Diskusi Revolusi Milenial diikuti kalangan aktivis mahasiswa, tokoh Masyarakat dan aktivis pengiat sosial di Yogyakarta. Selain Arie Sujito dan Gendis, hadir sebagai panelis aktivis ’98, Beny Hari Juliawan dan Bambang Wahyu Sumirat.
Tinggalkan Balasan