Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Indonesia baru saja diumumkan bergabung dengan BRICS, sebuah kelompok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, yang kini melibatkan beberapa anggota baru.

Keputusan ini menjadi momen penting dalam perjalanan geopolitik dan ekonomi Indonesia, terutama di tengah dinamika ekonomi global yang terus berkembang. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS membawa sejumlah peluang sekaligus tantangan yang patut dikaji lebih lanjut.

Salah satu keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dari keanggotaannya di BRICS adalah peningkatan akses terhadap pasar global, khususnya di negara-negara anggota kelompok ini.

BRICS mencakup beberapa negara dengan perekonomian terbesar di dunia, seperti Tiongkok dan India, yang juga merupakan mitra dagang utama Indonesia. Kolaborasi yang lebih erat dalam BRICS memungkinkan Indonesia untuk memperluas ekspor komoditas, meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri, dan memperdalam integrasi rantai pasok global.

Selain itu, melalui kerja sama multilateral ini, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi langsung asing (FDI) dari anggota BRICS lainnya yang memiliki surplus modal dan kapasitas teknologi yang signifikan.

Keanggotaan di BRICS juga membuka peluang untuk memperkuat posisi diplomatik Indonesia di panggung global.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini telah menjadi forum penting dalam membahas isu-isu strategis seperti reformasi sistem pembayaran yang adil, ujung tombak dedolarisasi, reformasi tata kelola global, termasuk di lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Dengan bergabungnya Indonesia, suara negara berkembang di dalam BRICS semakin kuat, dan ini sejalan dengan visi Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif dalam membentuk tatanan dunia yang lebih inklusif dan adil.

Melalui partisipasi aktif, Indonesia dapat mendorong kepentingan nasionalnya sekaligus memperkuat solidaritas antara negara-negara di Selatan Global.

PELUANG VERSUS RESIKO

Namun, bergabung dengan BRICS juga bukan tanpa risiko. Salah satu risiko utama adalah potensi pergeseran fungsi BRICS dari sekadar forum ekonomi, perdagangan, dan keuangan, menjadi poros militer dan kekuatan “hard power” baru yang ingin menggantikan tatanan internasional yang saat ini didominasi oleh Barat, yaitu Amerika Serikat (AS) dan NATO.

Jika pergeseran semacam ini terjadi, BRICS tidak lagi hanya menjadi alat untuk mendukung pembangunan ekonomi, tetapi bisa menjadi instrumen geopolitik yang membawa risiko besar bagi stabilitas global, terutama di tengah meningkatnya tensi antara kekuatan besar dunia.

Transformasi BRICS menjadi kekuatan hard power dapat memicu ketegangan baru, terutama dengan negara-negara Barat.

Beberapa anggota BRICS, seperti Rusia dan Tiongkok, sudah terlibat dalam dinamika konflik geopolitik yang rumit, baik dalam perang Ukraina maupun sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.

Jika BRICS semakin condong pada agenda geopolitik yang konfrontatif, Indonesia berisiko terseret ke dalam konflik yang tidak sesuai dengan prinsip kebijakan luar negerinya.

Selain itu, ketegangan yang berkembang dari perang dagang menjadi konflik teritorial atau bahkan militer dapat mengancam posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini memegang teguh prinsip nonblok.

BRICS VS KONSTITUSI


Indonesia perlu mengingat kembali akar kebijakan luar negeri yang berpijak pada konstitusinya, yakni bersikap nonblok dan hanya berpihak kepada kemerdekaan, kemanusiaan, serta perdamaian dunia.

Prinsip ini telah menjadi pilar utama dalam membentuk citra Indonesia sebagai negara yang independen dan netral, serta berkomitmen untuk menjauhkan diri dari politik blok yang dapat mencederai kepentingan nasionalnya.

Oleh karena itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS harus dilakukan dengan kehati-hatian tinggi dan didasarkan pada persyaratan yang jelas.

Indonesia harus menegaskan bahwa keanggotaan di BRICS tidak boleh mengorbankan loyalitasnya kepada konstitusi dan prinsip dasar kebijakan luar negerinya.

Persyaratan yang dimaksud harus mencakup jaminan bahwa BRICS akan tetap menjadi forum ekonomi dan pembangunan yang inklusif, tanpa agenda geopolitik yang bertentangan dengan kepentingan Indonesia.

Pemerintah perlu menetapkan batasan yang jelas terkait komitmen Indonesia di BRICS, termasuk menolak setiap inisiatif yang berpotensi membawa BRICS ke arah konfrontasi militer atau politik yang tajam.

Dalam setiap pertemuan dan negosiasi BRICS, Indonesia harus secara konsisten mengedepankan pendekatan berbasis perdamaian, kerja sama, dan saling menghormati antarnegara.

Selain itu, Indonesia perlu memperkuat posisinya di dalam BRICS dengan terus mendorong isu-isu yang relevan dengan kepentingan nasional, seperti pembangunan berkelanjutan, pengurangan kesenjangan ekonomi global, dan reformasi tata kelola ekonomi internasional.

Hal ini tidak hanya akan membantu Indonesia mencapai tujuan ekonominya, tetapi juga memastikan bahwa peran BRICS tetap sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian dunia.

Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk selalu menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk negara-negara Barat yang merupakan mitra strategis di berbagai bidang.

Keanggotaan di BRICS sebaiknya tidak dilihat sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari Barat, tetapi sebagai langkah untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika global yang semakin multipolar.

Dengan bersikap terbuka terhadap semua pihak, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari keanggotaannya di BRICS tanpa harus terjebak dalam politik kubu yang berisiko.

BEREBUT PENGARUH DI DALAM BRICS

Salah satu tantangan utama perkembangan BRICS kedepan adalah ketidakseimbangan kekuatan di dalam kelompok ini.

Tiongkok, misalnya, memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam banyak inisiatif BRICS, yang berpotensi menciptakan dinamika yang tidak seimbang dalam pengambilan keputusan.

Indonesia perlu berhati-hati agar tidak hanya menjadi “pengikut” tanpa memiliki suara yang berarti. Selain itu, beberapa anggota BRICS, seperti Rusia, tengah menghadapi sanksi internasional dan tantangan geopolitik yang signifikan, yang dapat membawa risiko reputasi bagi Indonesia jika terlalu erat berasosiasi dengan Rusia.

JANGAN MAU DIJADIKAN SEKEDAR PASAR: BRICS DAN OECD-US

Dampak negatif lainnya yang mungkin timbul adalah kemungkinan persaingan yang meningkat di pasar domestik.

Dengan kerja sama yang lebih erat, produk-produk dari negara-negara BRICS lainnya bisa lebih mudah masuk ke pasar Indonesia, yang berpotensi mengancam industri lokal jika tidak dikelola dengan baik.

Selain itu, perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antaranggota BRICS dapat menimbulkan kesenjangan kepentingan, di mana negara-negara yang lebih maju cenderung mendominasi agenda kelompok ini.

Meski demikian, dampak-dampak negatif tersebut dapat diminimalisir melalui pendekatan strategis.

Indonesia perlu memastikan bahwa kepentingan nasional selalu menjadi prioritas utama dalam setiap negosiasi dan inisiatif BRICS. Pemerintah juga harus memperkuat daya saing industri lokal melalui reformasi struktural, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan investasi dalam teknologi.

Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan keuntungan dari keanggotaan di BRICS sekaligus melindungi sektor-sektor yang rentan dari dampak negatif.

Keanggotaan Indonesia di BRICS juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana negara ini dapat memaksimalkan posisi ekonominya, terutama jika dibandingkan dengan bergabung di forum seperti OECD.

OECD, sebagai organisasi yang lebih fokus pada negara-negara maju, memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal regulasi dan standar ekonomi.

Sementara itu, BRICS menawarkan platform yang lebih sesuai bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk memperjuangkan kepentingannya tanpa harus tunduk pada standar yang terkadang terlalu ketat bagi negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda.

Dalam konteks ini, BRICS memberikan ruang yang lebih fleksibel bagi Indonesia untuk menavigasi kebijakan ekonominya.

BRICS DAN PROSPEK EKONOMI TUMBUH 8 PERSEN

Peluang yang ditawarkan BRICS dapat membantu mempercepat target ambisius Presiden Prabowo, yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Melalui sinergi dengan negara-negara BRICS, Indonesia dapat memanfaatkan transfer teknologi, mempercepat industrialisasi, dan memperluas pangsa pasar ekspor.

Namun, untuk mencapai pertumbuhan tersebut, pemerintah juga harus fokus pada peningkatan infrastruktur domestik, deregulasi, serta memperkuat iklim investasi. Integrasi dengan BRICS sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai salah satu alat untuk mencapai transformasi ekonomi yang berkelanjutan.

Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan langkah strategis yang penuh potensi. Dengan strategi yang tepat dan fokus pada kepentingan nasional, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaan ini untuk memperkuat posisi ekonominya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memainkan peran lebih besar di kancah global.

Namun, penting bagi Indonesia untuk tetap waspada terhadap tantangan yang ada dan mengelola risiko dengan bijak. Dengan pendekatan yang seimbang, keanggotaan di BRICS dapat menjadi salah satu pilar penting dalam perjalanan Indonesia menuju visi menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Pada akhirnya, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS bukanlah langkah yang harus diambil tanpa syarat. 

Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tetap selaras dengan konstitusi dan kepentingan nasional jangka panjang. 

Dengan pendekatan yang hati-hati, tegas, dan strategis, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di BRICS untuk mendukung pembangunan ekonominya sekaligus memperkuat perannya sebagai penjaga perdamaian dan stabilitas dunia.