Oleh: ACHMAD NUR HIDAYAT
(Ekonom dan Pakar Kebijakan Piblik UPN Veteran Jakarta)

Pemerintah baru-baru ini mengumumkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap barang mewah.

Kebijakan ini, meskipun memiliki niat baik untuk meningkatkan penerimaan negara, justru menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.

Tidak sedikit yang mempertanyakan alasan di balik angka 12 persen, yang terkesan memberatkan, apalagi di tengah kondisi daya beli masyarakat kelas menengah yang masih belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.

Jika ditelaah lebih mendalam, kebijakan ini sebenarnya tidak diperlukan.

PPN 12 persen seharusnya dibatalkan, karena pemberlakuannya hanya akan menambah beban psikologis dan ekonomi masyarakat.

Barang mewah yang ingin dikenai pajak tambahan cukup diarahkan melalui harmonisasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sudah memiliki mekanisme tersendiri untuk pengenaan tarif lebih tinggi.

Dengan demikian, pemerintah tetap dapat mencapai tujuannya tanpa mencederai daya beli masyarakat kelas menengah.

Mengapa PPN 12 Persen Harus Dibatalkan?

Peningkatan tarif PPN menjadi 12 persen sebenarnya direncanakan untuk berlaku secara bertahap sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Namun, pengenaan tarif ini pada barang mewah menimbulkan masalah karena:

Beban Tambahan pada Kelas Menengah.

Meski barang mewah tidak dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat, adanya pengumuman tarif PPN 12 persen dapat menimbulkan efek psikologis negatif bagi kelas menengah. Kelompok ini sudah menghadapi tekanan ekonomi akibat inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan daya beli yang tergerus. Menambahkan tarif baru, bahkan jika hanya untuk barang tertentu, tetap menciptakan persepsi bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat luas.

Ketidakjelasan dalam Komunikasi.

Kebijakan ini menyamarkan batas antara PPN dan PPnBM. Barang mewah sudah dikenakan PPnBM, yang fungsinya mirip dengan PPN tetapi dirancang khusus untuk barang-barang eksklusif.

Mengapa perlu menambah PPN di atas PPnBM? Pertanyaan ini memperlihatkan kelemahan dalam komunikasi kebijakan yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap langkah pemerintah.

Risiko Pajak Berganda.

Barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen akan menghadapi risiko dikenai pajak ganda jika PPnBM juga berlaku.

Hal ini akan meningkatkan harga barang secara signifikan, yang bukan hanya mengurangi konsumsi tetapi juga memengaruhi daya saing produk dalam negeri yang dikategorikan sebagai barang mewah.

Tidak Tepat Sasaran.

Jika tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan penerimaan negara, pemberlakuan PPN 12 persen untuk barang mewah sebenarnya tidak signifikan dalam konteks makro.

Konsumsi barang mewah tidak cukup besar untuk secara substansial meningkatkan basis pajak. Di sisi lain, dampak psikologis dan ekonominya pada kelas menengah justru lebih besar.

Harmonisasi PPnBM: Solusi yang Lebih Bijak

Sebagai alternatif, pemerintah cukup memanfaatkan mekanisme PPnBM untuk mengenakan pajak tambahan pada barang mewah.

PPnBM sudah memiliki struktur tarif yang fleksibel dan dapat disesuaikan berdasarkan jenis barang, sehingga pemerintah tidak perlu memberlakukan tarif PPN 12 persen yang justru menciptakan kerumitan baru.

Harmonisasi PPnBM dapat dilakukan dengan:

Penyesuaian Tarif.

Pemerintah dapat menaikkan tarif PPnBM secara selektif untuk kategori barang mewah tertentu tanpa perlu menyentuh tarif PPN yang berlaku umum.

Penyederhanaan Administrasi.

Dengan fokus pada satu jenis pajak (PPnBM), administrasi perpajakan menjadi lebih efisien.

Hal ini juga mengurangi risiko pajak berganda yang dapat membebani konsumen dan pelaku usaha.

Fokus pada Redistribusi.

Pendapatan tambahan dari PPnBM dapat diarahkan untuk program sosial yang memperkuat daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah.

Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya bersifat fiskal, tetapi juga inklusif.

Dampak Positif Membatalkan PPN 12 Persen

Jika pemerintah memutuskan untuk membatalkan PPN 12 persen, ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan:

Meningkatkan Kepercayaan Publik.

Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dan bersikap responsif terhadap dinamika ekonomi yang sedang berlangsung.

Menjaga Daya Beli Kelas Menengah.

Kelas menengah adalah motor penggerak ekonomi. Menjaga daya beli mereka adalah langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Mendukung Industri Dalam Negeri.

Tanpa PPN tambahan, barang mewah buatan dalam negeri memiliki peluang lebih besar untuk bersaing, baik di pasar lokal maupun internasional.

Sederhana dan Efisien.

Dengan hanya mengandalkan PPnBM, pemerintah dapat mencapai tujuan fiskal tanpa menciptakan kebingungan atau beban administratif yang tidak perlu.

Rekomendasi untuk Pemerintah ke Depan

Dalam mengambil kebijakan pajak, terutama yang berdampak pada daya beli masyarakat, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut:

Transparansi dalam Komunikasi.

Setiap kebijakan harus dijelaskan dengan sederhana dan gamblang agar tidak menimbulkan salah paham di kalangan masyarakat maupun pelaku usaha.

Hati-Hati dalam Menentukan Target Pajak.

Kebijakan pajak harus disusun berdasarkan analisis yang komprehensif, termasuk dampaknya pada konsumsi, industri, dan daya saing produk lokal.

Fokus pada Kebijakan yang Mendukung Pemulihan Ekonomi.

Dengan daya beli yang masih tertekan, kebijakan pajak harus mendukung pemulihan ekonomi, bukan menciptakan beban tambahan.

Penguatan Redistribusi.

Peningkatan penerimaan negara harus diikuti dengan alokasi anggaran yang mendukung kelompok rentan, seperti bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Catatan Penting

Pengenaan PPN 12 persen untuk barang mewah sebenarnya adalah kebijakan yang tidak perlu. Pemerintah cukup mengoptimalkan PPnBM sebagai instrumen untuk mengenakan pajak tambahan pada barang mewah tanpa harus mengutak-atik PPN. Dengan membatalkan kebijakan ini, pemerintah dapat menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan kepercayaan publik, dan mendukung pemulihan ekonomi yang inklusif.

Ke depannya, pemerintah harus lebih cermat dalam merancang dan mengkomunikasikan kebijakan pajak agar manfaatnya dirasakan secara luas tanpa menciptakan distorsi atau kebingungan di masyarakat.

Temukan juga kami di Google News.