Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom Dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Kebijakan cetak sawah atau food estate di Papua, yang diinisiasi oleh Menteri Koordinator Perekonomian Zulkifli Hasan, adalah salah satu langkah terbaru pemerintah dalam mencapai swasembada pangan nasional.
Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dalam lima tahun dengan membuka lahan baru seluas dua juta hektare di Papua. Alasannya, lahan di Jawa semakin berkurang akibat urbanisasi dan pembangunan infrastruktur. Pernyataan ini, bagaimanapun, mengingatkan kita pada sejarah kolonialisme di mana bangsa Eropa, dengan alasan sempitnya lahan di tanah air mereka, melakukan ekspansi ke Asia, Afrika, dan Amerika untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Kebijakan ini menuai banyak kritik, terutama dari sudut pandang sosial, budaya, dan ekologis. Salah satu kritik utama adalah bahwa kebijakan ini mencerminkan “colonial extractivism” atau kolonialisme dalam bentuk baru.
Papua sekali lagi diperlakukan sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan pembangunan nasional, tanpa mempertimbangkan dampak besar yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan alam yang begitu beragam dan rapuh.
Colonial Extractivism dalam Food Estate
Kolonialisme extractivist adalah pola di mana kekayaan alam suatu wilayah diambil secara masif dan dieksploitasi demi kepentingan kekuatan ekonomi yang lebih besar, seringkali tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat lokal. Dalam konteks Papua, food estate atau cetak sawah di sana berpotensi besar mencerminkan pola ini. Papua, dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang luar biasa, memiliki potensi alam yang sangat besar, tetapi juga merupakan wilayah yang telah lama menjadi target eksploitasi oleh pemerintah pusat maupun korporasi swasta.
Pembukaan lahan baru seluas dua juta hektare di Papua akan mengubah bentang alam yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat. Sejarah kolonialisme di Papua menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya oleh pihak luar seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, dan lebih sering memberikan keuntungan kepada pihak luar yang datang dengan membawa teknologi dan modal.
Apa yang dipaparkan Zulkifli Hasan mengingatkan kita pada ekspansi kolonial masa lalu, ketika tanah dan sumber daya alam dijadikan komoditas untuk kepentingan elite penguasa di pusat, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton dan bahkan menjadi korban dari kebijakan tersebut.
Dampak Terhadap Masyarakat Adat
Salah satu masalah utama dalam pendekatan colonial extractivism adalah peminggiran masyarakat lokal, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam distribusi manfaat dari proyek yang dijalankan. Dalam konteks Papua, masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah dan lingkungan mereka. Tanah bagi masyarakat Papua bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga memiliki nilai budaya dan spiritual yang mendalam.
Ketika pemerintah pusat datang dengan proyek food estate, yang dilandasi oleh keinginan untuk mencapai swasembada pangan nasional, kekhawatirannya adalah bahwa masyarakat adat Papua akan kehilangan tanah mereka, sementara mereka hanya sedikit atau bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pembukaan lahan besar-besaran juga berisiko mengabaikan hak-hak adat dan mengubah struktur sosial serta ekonomi lokal secara drastis.
Hal ini bisa memicu konflik sosial yang lebih besar, terutama karena masyarakat adat sering kali tidak memiliki kapasitas yang sama dengan investor besar dalam hal teknologi dan modal. Tanpa perlindungan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat adat, proyek food estate di Papua berpotensi memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada di sana.
Risiko Lingkungan yang Tak Terkendali
Selain dari sudut pandang sosial, proyek food estate di Papua juga mengancam lingkungan yang sangat kaya dan rapuh. Papua adalah salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Pembukaan lahan baru dalam skala besar bisa merusak hutan, mengancam spesies endemik, dan merusak ekosistem yang selama ini telah dipelihara oleh masyarakat lokal.
Deforestasi untuk membuka lahan pertanian juga bisa memperburuk krisis iklim. Hutan-hutan Papua memiliki peran penting dalam menyerap karbon dioksida, dan hilangnya hutan-hutan ini akan berdampak signifikan terhadap emisi karbon di Indonesia. Ironisnya, kebijakan ini justru bisa menghambat upaya Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon di bawah perjanjian Paris.
Apa Alternatifnya?
Daripada memaksakan proyek food estate di Papua yang berisiko merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat adat, pemerintah seharusnya mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Pertama, Pelibatan Masyarakat Adat dalam Pengambilan Keputusan: Masyarakat adat Papua harus dilibatkan secara langsung dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Mereka bukan hanya sekadar penerima kebijakan, tetapi harus menjadi mitra sejajar dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kedua, Pemberdayaan Pertanian Lokal: Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan produktivitas pertanian masyarakat lokal, tanpa harus membuka lahan baru yang besar. Dengan teknologi pertanian yang ramah lingkungan dan pendampingan yang tepat, masyarakat Papua bisa meningkatkan produksi pangan tanpa harus merusak lingkungan.
Ketiga, Pengelolaan Lahan yang Berkelanjutan: Pemerintah harus berkomitmen pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Artinya, pembukaan lahan baru harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Keempat, Pengawasan Transparan: Proyek ini harus diawasi secara ketat oleh lembaga independen dan melibatkan masyarakat sipil. Pengawasan yang transparan akan memastikan bahwa proyek ini berjalan sesuai prinsip keadilan sosial dan lingkungan.
Kebijakan food estate di Papua berpotensi besar mencerminkan cara pandang colonial extractivism yang hanya melihat Papua sebagai objek eksploitasi demi kepentingan nasional. Kebijakan ini berisiko meminggirkan masyarakat adat dan merusak lingkungan yang kaya di Papua.
Pemerintah harus mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Swasembada pangan bisa dicapai tanpa harus mengulangi kesalahan sejarah kolonialisme masa lalu. Papua bukanlah objek, tetapi bagian integral dari Indonesia yang harus dijaga dan dihormati.
END
Tinggalkan Balasan