Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Penurunan harga minyak mentah dunia, termasuk Indonesia Crude Price (ICP) yang turun menjadi USD 72,54 per barel pada September 2024, menjadi perbincangan menarik di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Tren penurunan ini juga terjadi pada harga Brent dan WTI yang turun signifikan akibat melemahnya permintaan global serta peningkatan pasokan minyak dari berbagai negara penghasil. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah tren harga minyak ini akan terus rendah di masa depan, atau apakah ada potensi kebangkitan harga akibat sentimen tertentu?
Dampak Melemahnya Permintaan Tiongkok pada Pasar Minyak Dunia
Secara historis, harga minyak cenderung berfluktuasi mengikuti dinamika global yang kompleks. Saat ini, kita melihat adanya beberapa faktor yang mendorong penurunan harga. Salah satunya adalah melemahnya permintaan dari Tiongkok, yang merupakan salah satu konsumen minyak terbesar di dunia.
Tiongkok sedang mengalami perlambatan ekonomi yang lebih besar dari perkiraan, yang tercermin dalam penurunan Purchasing Manager Index (PMI) yang lebih rendah dari ekspektasi pasar. Hal ini mengurangi permintaan minyak dari negara tersebut, sehingga mempengaruhi harga global.
Pengaruh Peningkatan Pasokan Minyak dari Negara-Negara Penghasil
Selain itu, peningkatan pasokan dari negara-negara seperti Irak dan Libya juga turut memberikan tekanan pada harga. Irak, misalnya, telah mencapai tingkat ekspor tertinggi dalam delapan bulan terakhir, sementara produksi minyak Libya yang stabil setelah terjadi kesepakatan politik di dalam negeri semakin menambah pasokan global. Faktor ini semakin memperburuk ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, yang menyebabkan harga minyak jatuh.
Meskipun tren saat ini menunjukkan penurunan, beberapa faktor berpotensi mengubah dinamika harga minyak dalam beberapa bulan mendatang. Ketegangan geopolitik, khususnya di Timur Tengah, tetap menjadi ancaman bagi stabilitas pasokan minyak.
Konflik antara Israel dan Iran, misalnya, dapat memicu gangguan pasokan di kawasan Teluk Persia, salah satu jalur pengiriman minyak terpenting di dunia. Setiap ketidakstabilan di kawasan tersebut berpotensi mendorong harga minyak naik dengan cepat.
Kebijakan OPEC dan Transisi Energi Hijau: Faktor Penentu Masa Depan Harga Minyak
Selain geopolitik, keputusan strategis dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga akan sangat menentukan. OPEC+ telah secara aktif mengendalikan produksi minyak guna menjaga keseimbangan pasar. Jika kelompok ini memutuskan untuk memperketat produksi sebagai respons terhadap harga yang terus menurun, maka harga minyak dapat mengalami kenaikan. Namun, jika mereka tetap pada jalur produksi saat ini, tren harga rendah bisa bertahan lebih lamaa.
Namun, ada juga faktor jangka panjang yang perlu dipertimbangkan. Transisi global menuju energi hijau dan terbarukan terus mendapatkan momentum, terutama di negara-negara maju. Meskipun dalam jangka pendek minyak tetap menjadi sumber energi utama, kebijakan yang mendukung energi bersih dapat menekan permintaan minyak dalam jangka panjang.
Negara-negara seperti Eropa dan Amerika Serikat semakin mempercepat investasi dalam infrastruktur energi hijau, yang dapat mengurangi ketergantungan pada minyak. Namun, proses transisi ini akan memakan waktu bertahun-tahun, dan selama itu, ketidakseimbangan dalam pasokan energi hijau dapat memicu lonjakan harga minyak sementara.
Pada akhirnya, harga minyak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor global yang dinamis. Meski tren harga saat ini menurun, faktor-faktor geopolitik, kebijakan OPEC, serta pemulihan ekonomi global tetap menjadi elemen yang harus diperhatikan.
Dengan pasar energi yang sangat sensitif terhadap perkembangan eksternal, harga minyak masih sangat mungkin berbalik arah dan mengalami kenaikan, terutama jika terjadi guncangan pasokan atau perubahan kebijakan yang signifikan.
Tinggalkan Balasan