Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik)
Imbauan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mengganti penyiaran Azan Magrib di televisi dengan running text selama Misa Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 5 September 2024, telah menimbulkan berbagai reaksi di tengah masyarakat. Bagi sebagian kalangan, imbauan ini dianggap berlebihan dan tidak perlu.
Azan Magrib adalah bagian integral dari kehidupan umat Muslim, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebagai negara yang menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi, seharusnya setiap praktik keagamaan dihormati dan diperlakukan dengan adil. Mengganti penyiaran Azan Magrib dengan running text, meskipun hanya untuk sementara waktu, dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap tradisi yang sangat dihormati oleh umat Muslim.
Misa Paus Fransiskus adalah acara yang sangat penting bagi umat Katolik, dan keputusan untuk menyiarkannya secara langsung di seluruh televisi nasional adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, imbauan untuk meniadakan Azan Magrib demi keberlangsungan siaran tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa ada ketidakadilan dalam cara praktik keagamaan diperlakukan. Ini berpotensi menciptakan ketegangan yang sebenarnya bisa dihindari dengan pendekatan yang lebih bijaksana.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat toleransi beragama yang tinggi, di mana setiap agama memiliki ruang untuk menjalankan ibadahnya dengan tenang dan damai. Sebagai bagian dari semangat “Bhinekka Tunggal Ika”, seharusnya kita bisa menemukan cara untuk menghormati semua kepercayaan secara seimbang, tanpa mengorbankan satu praktik keagamaan demi yang lain.
Kominfo seharusnya mempertimbangkan opsi lain yang tidak meniadakan penyiaran Azan Magrib. Misalnya, jeda sementara dalam siaran Misa untuk memberikan ruang bagi Azan Magrib, atau menyediakan saluran alternatif yang menyiarkan Azan bagi yang membutuhkannya. Dengan cara ini, kedua komunitas keagamaan dapat menjalankan ibadahnya dengan damai, tanpa merasa ada pihak yang dikesampingkan.
Akhirnya, keputusan ini seharusnya dievaluasi kembali dengan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama sensitivitas keagamaan di Indonesia. Setiap langkah yang diambil harus mencerminkan semangat persatuan dan toleransi yang menjadi fondasi bangsa ini. Mari kita jaga keberagaman dan kedamaian di Indonesia dengan lebih menghargai setiap elemen keagamaan tanpa mengesampingkan yang lain.
Tinggalkan Balasan