Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap dokumen Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Pandangan kritis tersebut, disampaikan langsung dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI, Kamis (28/1/2021) lalu.

Rapat tersebut, digelar via daring/online. Melalui aplikasi Zoom. Pada kesempatan itu, Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino menyampaikan lima catatan terhadap rancangan dokumen tersebut.

“Kami menganalisa terhadap dokumen tentang Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. Menurut analisis kami pertama, dari dokumen itu kami melihat memang ada ambisi besar dari pendidikan kita untuk menciptakan link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri,” kata Arjuna, memulai penyanpaiannya.

Menciptakan link and match itu, lanjut dia, memang perlu. Namun dunia pendidikan bukan hanya semata-mata menciptakan tenaga kerja. “Bahkan UUD 1945 sudah menyebutkan itu. Mengamanatkan bahwa tugas pendidikan bukan hanya menciptakan tenaga kerja,” tambahnya.

Berikutnya, DPP GMNI melihat, ada beberapa paradoks dalam dokumen peta jalan pendidikan tersebut. Misalnya, bercita-cita menciptakan pendidikan yang merata, namun menggantungkan diri terhadap pasar bebas.

“Kita tahu, bahwa pasar bebas itu sumber ketidakadilan. Ini justru ingin menciptakan pendidikan yang adil melalui pasar bebas. Kami justru bingung dengan konsep tersebut. Padahal, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan logika pasar,” jelasnya dalam rapat tersebut.

Dalam dokumen arah pendidikan tersebut, disebutkan ingin menciptakan pendidikan karakter. Namun arah pendidikan lebih dominan untuk menyediakan kebutuhan pasar.

Menurut ketua umum DPP GMNI yang terpilih pada Kongres GMNI di Ambon tersebut, meninjau halaman 3 dan 4 dokumen peta jalan pendidikan tersebut, hanyalah menyoal pasar tenaga kerja.

“Hanya soal tren pasar tenaga kerja. Kemudian di akhir-akhir (dokumen), ingin menciptakan karakter. Karakter semacam apa yang ingin diciptakan, kalau di awal bicaranya soal kebutuhan industri,” tegasnya.

Analisia kritis yang dipaparkan selanjutnya, mengenai aspek sosio kultural bangsa Indonesia. Dokumen peta jalan pendidikan tersebut dinilai kurang memperhatikan aspek itu. Memang dalam dokumen itu, disebutkan bahwa aspek sosio kultural.

“Tapi desainnya seperti apa, tentang penciptaan sosio kulturalnya. Kita tidak melihat itu. Dominannya kepada dunia industri. Budaya industri. Hanya merespons digitalisasi dan sebagainya,” ujarnya.

Memang, tambah Arjuna, penting merespons kemajuan teknologi dan mengikuti tren global. “Namun bukan sekadar mengimitasi tren yang ada. Penting bagi bangsa mengupdate diri. Tapi bukan sekadar mengekor atau mengimitasi tren global. Tapi juga harus ikut mewarnai,” tuturnya.

Sebagai informasi, analisis kritis tersebut disampaikan dalam RDPU Komisi X DPR RI bersama organisasi mahasiswa. Dengan agenda pembahasan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Beberapa organisasi yang hadir, selain GMNI, yakni PPI Dunia, Hikmahbudhi, PMKRI, KAMMI, GMKI, IMAKIPSI dan KMHDI.

Temukan juga kami di Google News.