JAKARTA – Direktur Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menjelaskan wahyu Keprabon dalam diksi sejarah gara-gara Jawa adalah legitimasi spiritual seorang pemimpin yang di dapat melalui dawuh atau pratanda yang dilekatkan pada subyek seorang pemimpin.

Kata Hari, terminologi ini sangat lekat dalam budaya sinkretisme Jawa, dimana seorang raja tidak semata berkuasa atas dunia nyata, namun juga dunia tak kasat mata alias ghaib.

“Kedua nya akan saling melegitimasi dan mengukuhkan kewisesaan seorang raja,” ungkap Hari, hari ini.

Menurutnya, wahyu keprabon ini, konon tidak bisa dicari tetapi dia menghampiri. Maka ada istilah pulung wahyu keprabon atau lebih singkat ketiban pulung, yakni orang yg dipungut oleh wahyu keprabon ini. Setiap orang yang memimpin atas suatu wilayah, diyakini memiliki wahyu keprabon. Pemimpin suatu wilayah (misal, kepala desa, bupati atau presiden) memiliki keistimewaan dibanding dengan pemimpin lain, semisal Kapolda, direktur dan sejenisnya.

“Karena, pemimpin wilayah ini juga berkuasa atas makrokosmos dan mikro kosmis wilayah yang menjadi tanggung jawab nya,” jelasnya.

Dikatakan dia, setiap wilayah memiliki wahyu keprabon sendiri-sendiri yang akan memilih rajanya. Ada yang meyakini, wahyu ini tergolong egois. Dia tidak mau berbagi. Setiap pemegang wahyu keprabon berkuasa atas wilayahnya dan sangat jarang ada wahyu sama dalam satu dapur.

Bagi penguasa Nusantara, maka hampir bisa dipastikan tidak ada dari dapurnya yang secara bersama sama menjadi penguasa di Nusantara atau pun negara bawahannya.

“Itulah salah satu alasan pernikahan lintas negara bangsa marak di masa lalu. Sehingga, antar kerajaan bisa bertukar pangeran untuk menjadi adipati di wilayah sahabat,” sebut aktivis 98 ini.

Sepertinya, kata dia, alasan ini juga yang dipegang oleh Soekarno, Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono sehingga di masa kepemimpinan mereka sebagai Presiden, tidak satu pun anak kandung nya dijadikan kepala daerah.

Wacana ini menarik didiskusikan, tak lepas dari rencana Gibran Rakabumi, putra Presiden hendak maju ikut Pilkada Kota Solo tahun depan. Secara epistemologi, majunya Gibran ini akan memiliki potensi gesekan dengan wahyu keprabon yang diemban ayahnya sebagai Pemangku Bumi Nusantara Republik Indonesia.

“Secara real politik, hal tersebut sebenarnya merupakan rel sekaligus pagar bagi Jokowi dalam mengendalikan kepemimpinan nya periode kedua agar lebih fokus. Meskipun secara terbuka, Jokowi telah menyatakan terlepas dari pencalonan Gibran. Namun, status sebagai anak presiden pasti memberikan privilege bagi nya dlam berinvestasi,” sebut dia.

Hal lain adalah, kata dia, dikhawatirkan pencalonan Gibran ini akan memerlukan energi politik yang besar sekaligus membuka peluang rekreasi politik yng bakal jadi beban lain bagi Jokowi. Wahyu Keprabon yang dimiliki Jokowi untuk mengempu Nusantara merupakan tanggung jawab sekaligus anugerah yang mesti dijaga dan dilaksanakan dengan penuh amanah dan konsistensi.

Mengutip pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Puteri saat disambangi Gibran, bahwa Gibran mesti lebih banyak belajar di memang terlebih dahulu. Mirip sebuah pesemon yng disampaikan seorang Ibu Suri kepada Pangeran, agar lebih banyak menempa diri sebelum terjun ke kurusetra Pilkada.

“Sekaligus pembacaan cepat (rapid reading) seorang begawan politik terhadap seorang calon kader,” kata dia.

De facto, lanjut Hari, saat ini sosok Gibran hanya populer sebagai anak presiden dengan sejumlah bisnis low entry dengan omzet luar biasa.publik tidak tanya mengenal Gibran sebagai filantropi ataupun aktifis sosial. Tak salah Megawati, Gibran mesti banyak belajar. Tampil sebagai aktifis sosial yang mendukung aktifitas dan program bapaknya.

“Menjaga citra kemandirian, agar menjadi layak jual. Usia masih relatif muda. Jangan terlalu dipaksakan,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.